Jakarta – Persoalan Islamofobia yang terjadi di Prancis harus dilihat secara komprehensif dan bagian per bagian. Tujuannya agar masyarakat tidak salah dalam merespon persoalan tersebut.
Hal itu diungkapkan Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid dalam cuitan di twitter, Senin (2/11/2020).
“Saya pribadi sakit hati membaca berita aksi teror yang terjadi di Prancis setelah ada yang mengangkat kartun Charlie Hebdo yang dinilai menghina Nabi Muhammad SAW,” cuit Alissa dikutip dari NU Online.
Namun, ia berusaha untuk membaca persoalan yang terjadi di Prancis secara komprehensif dan melihat bagian per bagian. Tujuannya agar tidak salah dalam merespons persoalan.
Menurutnya, persoalan kebebasan berekspresi (freedom of expression) berbeda dengan persoalan aksi teror dan persoalan pernyataan Presiden Macron yang juga dianggap merupakan hal lain yang berbeda.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa soal kebebasan berekspresi memang menjadi permasalahan ketika diterjemahkan menjadi kebebasan, bukan kemerdekaan. Menurutnya, sentimen dan ujaran kebencian sudah lama menjadi pembahasan di dalam konteks HAM.
Sekalipun begitu, katanya, dunia masih gamang juga soal batasan-batasan yang harus diperhatikan. Selain itu, ia juga mempertanyakan soal bagaimana menjaga batasan agar tidak jadi penindasan atas hak berekspresi.
“Sudah pernah saya kutip Howard Gardner (Psikolog asal Amerika). Dia belajar dari kasus komik Nabi di Denmark. Lalu dia cocokkan dengan ideal pemimpin milenium ini. Dia simpulkan: pemimpin masa kini harus punya respecting thinking (menghormati pemikiran),” jelas Alissa.
Ia kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, “Kalau sudah tahu (komik) itu akan menyakiti orang lain, kenapa (masih) dilakukan?”
Lalu, Alissa mengunggah pamflet Gus Dur dengan tulisan kalimat bijak yang sangat populer. Kalimat itu berbunyi, “Kalau anda tidak ingin dibatasi, janganlah anda membatasi. Kita sendirilah yang harusnya tahu batas kita masing-masing. Gitu aja kok repot!”
Alissa menyoroti persoalan aksi teror yang terjadi di Prancis. Menurutnya, hal itu berbeda dengan soal kebebasan bereskpresi versus ujaran kebencian. Ia menyadari bahwa aksi teror tidak mengenal agama karena siapa pun bisa melakukan itu.
“Memang, aksi teror tidak kenal agama. Siapa saja bisa lakukan teror. Tiap agama dan ideologi kudu (harus) sadar ada kelompok-kelompok garis kerasnya,” pungkasnya.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah