amar maruf
amar maruf

Amar Ma’ruf Tidak Boleh Memakai Cara Mungkar

Islam selalu mengedepankan akhlakul karimah dalam segala hal. Islam agama yang penuh rahmat dan tidak suka melaknat. Mengajarkan sabar dan tidak suka sikap yang sangar. Demikian pula dalam mengajak kebajikan dan menegur atau mencegah kemunkaran.

Nabi Muhammad seringkali memberi contoh menyeru kebajikan tidak dengan cara-cara yang kasar apalagi anarkis, membuat kekacauan dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kaedahnya ‘Menolak mafsadat lebih didahulukan dari menarik maslahah’. Merubah kemungkaran mendatangkan maslahah, tapi kalau berpotensi menimbulkan mafsadat yang baru dan lebih besar tentu tidak dibolehkan.

Di tanah air, akhir-akhir ini sering terjadi penyampaian dakwah yang alih-alih mau menyampaikan syariat Islam, malah justru meninggalkan masalah besar di masyarakat. Hal ini akibat cara dan metode dakwah yang mengenyampingkan akhlakul karimah. Sebab lain berkecambahnya para pendakwah prematur yang nihil ilmu agama.

Semangat amar ma’ruf terlalu bergairah sementara ilmunya masih sangat dangkal. Mestinya lebih dulu menyempurnakan ilmu keagamaannya baru menyeru kebajikan, itupun setelah mengamalkan dengan baik. Bukankah dosa besar bagi penyeru sementara dirinya tidak mengerjakan?. Sebagaimana juga tidak boleh ‘amar ma’ruf itu dilakukan dengan cara munkar’.

Tiga Adab dalam Amar Ma’ruf

Oleh karena itu, sebaiknya para da’I, muballigh, penceramah memperhatikan tiga adab pokok yang semestinya dilakukan dalam menyerukan amar ma’ruf nahi munkar. Pertama, ilmu. Wajib memiliki ilmu yang memadai, mengetahui apakah kemungkaran yang dicegahnya merupakan persoalan yang disepakati ulama akan keharamannya atau tidak.

Persoalan khilafiyah punya landasan hukum yang terkadang berbeda satu sama lain. Kalau akar hukumnya masih ada di antara empat madhab fikih alangkah eloknya kalau diterima sebagai “Perbedaan adalah rahmat”. Baru kalau persoalan itu tergolong mujma’ ‘alaih (disepakati ulama’) amar ma’ruf bisa dioperasikan dengan tetap mengedepankan akhlak yang baik. Semangat membela agama tanpa didasari ilmu yang mumpuni justru menimbulkan masalah besar dan dampak buruknya lebih dominan dari pada nilai positifnya.

Kedua, harus hati-hati. Tidak ada yang menyangkal bahwa semangat menyampaikan amar makruf nahi munkar merupakan hal yang baik. Akan tetapi harus dilambari kasih sayang sehingga ajakannya menjadi ucapan yang mengingatkan dan menyadarkan. Harus sabar ketika ajakan itu tidak berbuah hasil, seperti Rasulullah ketika berdakwah kepada penduduk Thaif.

Butuh kecermatan tingkat tinggi apakah ajakannya berbuah positif atau justru sebaliknya. Aksi-aksi brutal dan galak yang dapat menyakiti atau mengganggu ketentraman publik sejatinya adalah dorongan nafsu, tindakan yang terbujuk tipu daya setan. Sikap ego agama, menyakiti orang lain, memandang hina, mengklaim diri paling benar, menganggap pihak lain berbuat bid’ah, tidak lain adalah tindakan orang-orang yang ‘mabuk agama’.

Ketiga, berakhlakul karimah. Berbudi pekerti yang baik sebagai representasi nilai agama Islam yang luhur sehingga mampu menarik simpati. Kalau tidak bisa meniru Rasulullah, sahabat dan ulama salafus shalih, cukuplah meneladani Wali Sanga yang terbukti ampuh menjadi magnet masyarakat Indonesia berbondong-bondong untuk memeluk Islam.

Ilmu dakwah Wali Sanga memegang prinsip perkataan Sayyidina Ali “Muwafaqatu al-Nas Ma’ada al-Ma’ashi”, mengikuti tradisi masyarakat selain dalam hal kemaksiatan. Memasukkan ruh ajaran Islam kepada tradisi masyarakat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal agama Islam.

Sesungguhnya penyeru kebaikan yang tidak berbudi luhur lebih banyak menimbulkan mudlarat dan mafsadat dari pada maslahah yang akan dicapai. Dengan demikian, amar ma’ruf nahi mungkar tidak akan tercapai kecuali dengan akhlak yang baik dan mampu menahan diri dari nafsu pemarah.

Minat beragama dan semangat menjalankan syariat agama bisa baik kalau berakar dari kesadaran suara hati nurani dari relung hati yang paling dalam. Oleh karena itu, mauidhah hasanah penting namun uswatun hasanah jauh lebih penting. Apalagi kalau amar ma’ruf itu masih membersitkan nominal duniawi.

Ilustrasinya sederhana, Nabi Muhammad sebagai manusia paling agung dan paling sempurna yang mampu menghilangkan bisikan duniawi sebesar biji ‘dzarrah’ keuntungan duniawi dalam berdakwah pernah mengalami kegagalan, apalagi manusia model kita yang kerap mendemonstrasikan agama dengan embel-embel upah sekeping perak.

Apalagi ketiga adab ini menyatu dalam diri seorang da’I atau penceramah niscaya fenomena-fenomena menggelikan yang kerap kali terjadi berulang-ulang akan hilang. Tidak ada lagi warna beramar ma’ruf yang kontradiktif dengan nilai luhur agama Islam. Tidak juga ada ‘muallaf’ yang berdandan layaknya ulama, agama Islam di Indonesia tidak ternoda oleh “Pemabuk agama”. Tidak akan ada istilah ‘mendadak ustad’, tidak pula hadir pendakwah yang “Beramar Ma’ruf dengan Cara Mungkar”.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Lebaran Topat perkuat silaturahmi dan jaga tradisi leluhur

Lebaran Topat di Mataram Pupuk Silatarahmi Antaragama dan Jaga Tradisi Leluhur

Mataram – Seperti di daerah-daerah lain saat Hari Raya Idul Fitri, di Kota Mataram, Nusa …

KH Yusnar Yusuf Rangkuti PhD

Tak Bertentangan dengan Syariat Islam, Budaya dan Kearifan Lokal Saat Idulfitri Perlu Terus Dilakukan

Jakarta – Perayaan Idulfitri di Indonesia biasanya diramaikan dengan berbagai budaya dan kearifan lokal, sesuai …