anak jalanan
anak jalanan

Anak Jalanan; Tanggung Jawab Siapa?

Anak adalah titipan Tuhan. Ia menjadi asset sangat berharga baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah mengatakan doa anak shaleh pahalanya mengalir tidak terputus untuk orang tuanya di akhirat. Sedangkan di dunia, anak juga bisa menjadi kebanggaan orang tua dengan segala prestasi kerja yang memberikan manfaat untuk keluarga, negara dan bangsa.

Tetapi, tentu ada juga kewajiban yang harus diselesaikan oleh orang tua untuk mengayomi, mengasihi dan memenuhi segala kebutuhan anak. Terutama kebutuhan yang berkaitan dengan kemaslahatan kesehatan dan pendidikan. Seperti makan, biaya pendidikan dan lain-lain. Sebab, apabila anak ditelantarkan maka orang tua menanggung dosa yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.

Banyak kita lihat dan ini menjadi pemandangan akrab di tanah air. Yaitu, adanya sekelompok anak-anak yang mengalami nasib kurang beruntung. Mereka menjadi penghuni persimpangan lampu merah sambil meminta sedekah atau mengamen, di terminal-terminal, di bis kota, dan tempat-tempat keramaian yang lain.

Banyak faktor yang melatari, bisa karena orang tuanya tidak acuh dan juga karena orang tuanya telah meninggal. Lalu, terlepas dari semua faktor penyebabnya, sebenarnya siapa yang seharusnya bertanggungjawab untuk mengatasi problem anak-anak jalanan?

Pertama adalah kewajiban orang tua untuk mengasuh dan menafkahi  anak-anaknya, khususnya yang belum mencapai usia baligh. Titah Allah, “Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan patut”. (al Baqarah; 233).

Rasulullah bersabda, “Seorang laki-laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab atas keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban untuk itu. Sedangkan perempuan bertanggungjawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya serta akan diminta pertanggungjawabannya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, apabila anak-anak jalanan tersebut karena memang tidak dihiraukan oleh orangtuanya, atau karena orang tuanya telah meninggal dan ia tidak memiliki keluarga, maka yang bertanggungjawab adalah masyarakat.

Dalam kitab al Bahjah al Wardiyah (1/13), setelah penduduk atau khalayak ramai mengambil anak-anak tersebut, lalu diketahui masih ada orang tua atau keluarga yang masih sanggup merawatnya, anak tersebut harus diserahkan kepada orang tua atau keluarganya tersebut.

Imam Nawawi dalam al Minhaj (1/259) menambahkan, anak yang tidak memiliki orang tua atau tidak memiliki orang tua asuh, entah keluarga atau orang lain, maka masyarakat berkewajiban untuk memungut, mengasuh dan merawatnya dengan layak. Selanjutnya, yang paling berhak mengasuh mereka adalah orang yang adil, bertanggungjawab dan cakap.

Dalam Syarah al Bahjah al Wardiyah (4/13) ditulis, apabila masyarakat enggan atau tidak memiliki kemampuan untuk merawat, mereka tetap berkewajiban mengentas anak-anak terlantar dari jalanan kemudian diserahkan kepada pemerintah.

Bagaimana dengan anak-anak yang menjadi korban premanisme. Mereka dibajak oleh para preman untuk mengemis dan meminta-minta di jalanan dan hasilnya tentu saja sebagian besarnya harus disetor kepada preman tersebut?

Jawabannya ada dalam kitab Mughni al Muhtaj (2/418). Anak-anak yang menjadi budak premanisme menjadi kewajiban pemerintah untuk mengentas mereka dari kungkungan tangan-tangan kejam para preman yang memaksa mereka untuk bekerja, mengamen atau mengemis. Bila orang tuanya masih ada, atau ada kerabat yang bisa merawatnya, anak tersebut diserahkan kepada mereka. Jika tidak, dicarikan orang tua asuh yang dapat menjamin kemaslahatan hidup anak.

Kewajiban terhadap masyarakat ini merupakan bagian dari amar makruf nahi mungkar. Maka, apabila khalayak banyak diam dan anti pati terhadap nasib anak-anak jalanan, tentu dosa karena abai akan perintah agama. Pengabaian terhadap mereka akan menjadi penyebab munculnya berbagai masalah kemanusiaan. Dan, sangat mungkin mereka akan direkrut oleh kelompok radikal untuk dijadikan pelaku terorisme.

Supaya tidak kehilangan asset bangsa yang berharga, kita semua harus peka terhadap fenomena anak-anak jalanan. Sebab bangsa ini butuh terhadap mereka untuk melanjutkan estafet perjalanan dan pembangunan bangsa ke depan. Dan, supaya mereka tidak direkrut oleh kelompok radikal untuk menghancurkan agama dan bangsa dari dalam.

 

Bagikan Artikel ini:

About Islam Kaffah

Check Also

duduk di kuburan

Saat Ziarah, Bolehkah Duduk di Kuburan?

Meskipun arus puritanisasi  mengklaim ziarah kubur adalah ritual bid’ah, tapi tidak banyak muslim nusantara yang …

shalat ghaib korban bencana

Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Pada tanggal 4 Desember 2021 telah terjadi peningkatan aktifitas vulkanik di gunung semeru. Hal itu …