perempuan benteng intoleransi
menghargai perempuan

Belajar dari Cara Rasulullah Menghargai Perempuan

Nabi adalah contoh pemimpin yang sangat menghargai perempuan. Baik sebagai pemimpin keluarga maupun pemimpin umat.

Jauh sebelum istilah “feminis” secara resmi digunakan sebagai representasi terhadap berbagai gerakan, edukasi dan pengarusutamaan keadilan gender, nilai pokok yang mendasari teori feminisme telah lebih dulu dipraktekkan oleh Rasulullah SWT. Jika merunut pada kisah yang menggambarkan bagaimana Rasulullah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, tidak terbantahkan bahwa Rasulullah seorang yang sangat menghargai perempuan.

Dari cerminan kehidupan sehari hari beliau, baik sebagai suami, ayah maupun tokoh sosial masyarakat, Rasulullah senantiasa mengedepankan nilai kemanusiaan. Tanpa diskriminasi terhadap perbedaan identitas maupun jenis kelamin.

Dalam bersikap dan bertutur kata kepada istri istri, anak-anak dan para sahabat perempuan, Rasulullah tidak pernah bertindak kasar maupun berucap yang menyakitkan hati. Dalam kehidupan sehari hari, Rasulullah tidak segan melakukan pekerjaan domestik yang umumnya dilekatkan pada perempuan. Menjahit, mencuci piring, menyiapkan makan, mengisi bak air, dan lain sebagainya.

Kelembutan akhlak dan tutur Rasulullah dalam memperlakukan perempuan menjadi semacam anomali di tengah tatanan masyarakat Arab Bani Quraish yang sangat kuat akan stigmatisasi berdasarkan jenis kelamin. Lebih jauh dari sekedar stigmatisasi, masyarakat Arab era jahiliyah bisa jadi adalah misoginis yang menganggap bahwa perempuan adalah sumber aib dan harus dilenyapkan dengan cara dikubur hidup hidup atau jika tidak maka akan dibiarkan hidup sebagai simbol kehinaan.

Lambang keburukan yang melekat pada perempuan itu memungkinkan mereka mendapat perlakuan tidak adil seumur hidupnya dan layak untuk disiksa baik secara fisik maupun mental. Perempuan zaman Arab jahiliyah dianggap tak lebih dari barang, alih alih manusia yang memiliki emosi dan pikiran.

Aspek – aspek kemanusiaan perempuan direnggut hingga titik nadir. Perempuan bisa diperjualbelikan, dinikahi tanpa persetujuan, dan tidak mendapat hak waris. Laki – laki bisa menikahi perempuan tanpa batasan jumlah dan bisa mencerai kapanpun dia kehendaki. Aspirasi perempuan tidak dianggap. Dan seberapa banyakpun perempuan berkumpul, kehadiran mereka tidak pernah diperhitungkan selama masih ada laki laki walau hanya seorang.

Sebegitu hina posisi perempuan dalam tatanan sosial masyarakat, sehingga ketika seorang bayi terlahir sebagai perempuan, wajah mereka memerah dan seolah-olah hanya dua pilihan: memelihara si jabang bayi dengan rasa hina atau menguburnya ke dalam tanah. Anggapan masyarakat Arab kala itu terekam dalam Surat an-Nahl ayat 58-59 diceritakan: “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.”

Dalam konteks itulah Rasulullah hadir dengan misi dakwah Islam sebagai agama yang santun dan humanis, tanpa batas gender dan usia. Tanpa syarat bangsa dan budaya. Rasulullah memanifestasikan ajaran Islam dalam laku dan cara pandang yang adil dan wibawa. Rasulullah perlahan menghembuskan nilai Islam yang bertolak dari keyakinan kuat bahwa semua manusia adalah hamba Allah yang ditentukan oleh tingkat taqwa, bukan jenis kelamin maupun identitas lain. Kemulian bukan terletak pada dimensi lahir melainkan tata nilai, ajaran, dan sikap perilaku yang didasarkan pada tauhid. Dari muara tauhid memunculkan perwujudan kemaslahatan umat manusia, keadilan, kerahmatan dan kebaikan universal.

Nilai utama ajaran Islam tersebut, telah dilampaui oleh Nabi Muhammad bahkan sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Teladan konkritnya bisa kita resapi dari kehidupan rumah tangga beliau dengan Sayyidah Siti Khadijah, seorang saudagar kaya yang tangguh, penuh perhatian, setia, dan percaya diri. Ia juga muslimah yang saleh, jujur, teguh, dan tahan uji.

Di tengah gaya hidup poligami tanpa batasan jumlah istri kala itu, Rasulullah memilih untuk memegang teguh prinsip monogami bersama Khadijah selama 24 tahun lamanya hingga dikaruniai 4 orang anak perempuan dan 2 orang anak laki laki. Jumlah 4 anak perempuan Nabi, alih-alih dikubur atau dibiarkan hidup secara hina, Rasulullah justru membesarkan mereka sebagai perempuan terdidik dan terhormat. Keempatnya yaitu, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah.

Salah satu cara Nabi Muhammad menghormati keempat putrinya adalah dengan memberi akses pendidikan yang terbaik. Tercatat bahwa Rasulullah senantiasa melibatkan anak-anak perempuan beliau dalam kajian keilmuan agama. Saat sudah hijrah ke Madinah, Rasul SAW menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas sosial kaum Muslimin. Di sanalah beliau menyelenggarakan shalat, majelis ilmu, dan perbagai kegiatan lainnya terkait umat. Majelis Rasulullah SAW terbuka bagi siapapun, termasuk kaum perempuan dan tidak terkecuali putri-putri Nabi SAW.

Jika teladan ini kita sesuaikan dengan konteks zaman saat ini, maka ini artinya bahwa akses pendidikan tidak hanya diutamakan untuk golongan tertentu, tetapi seyogyanya semua kalangan, tanpa memandang jenis kelamin dan strata social berhak dan layak mendapatkan akses terhadap pendidikan. Lebih jauh lagi, perempuan juga perlu dan penting untuk mengenyam pendidikan hingga strata tertinggi. Semata-mata untuk meneladani dan melanjutkan dakwah Nabi akan kesetaraan laki – laki dan perempuan.

Cara lain Nabi Muhammad mengangkat harkat dan martabat perempuan, khususnya dalam hal berumah tangga adalah sebagaimana disebutkan di atas. Nabi Muhammad tanpa segan dan malu turut andil dalam melakukan pekerjaan domestik rumah tangga. Mencuci baju, membuat roti, mengisi bak mandi, bahkan menjahit baju. Semua beliau lakukan bukan sebagai bantuan kepada istri, melainkan sebagi tanggung jawab bersama terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga.

Nabi Muhammad tidak mempraktikkan cara pandang patriarkis bahwa istri harus melayani suami dan wajib menyelesaikan semua urusan domestik rumah tangga seorang diri. Rasulullah menawarkan skema tanggung jawab berbasis kerjasama. Artinya baik istri maupun suami sama sama memiliki tanggung jawab yang setara baik di ranah publik maupun domestik.

Keindahan pola interaksi antara suami dan istri yang menggunakan prinsip kerja sama dalam rumah tangga memberi dampak meningkatnya kepercayaan diri dan harkat martabat perempuan sebagai manusia yang utuh. Karena pola kerja sama ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya humanisme dari lingkungan terkecil sekalipun, yakni lingkup keluarga.

Suami dan istri saling melayani dan menghargai dengan berlandaskan kasih sayang dan kerelaan untuk mengharapkan ridlo Allah SWT. Inilah yang menjadi inti ajaran Islam sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad melalui suri tauladan akhlakul karimah.

Belajar pada akhlak Rasulullah terhadap perempuan, umat Islam saat ini tidak boleh kembali pada praktek yang mendudukkan perempuan menjadi orang kedua. Perempuan bukan musibah dan sumber fitnah. Tetapi, teman laki-laki untuk saling bekerjasama.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Lebaran Topat perkuat silaturahmi dan jaga tradisi leluhur

Lebaran Topat di Mataram Pupuk Silatarahmi Antaragama dan Jaga Tradisi Leluhur

Mataram – Seperti di daerah-daerah lain saat Hari Raya Idul Fitri, di Kota Mataram, Nusa …

KH Yusnar Yusuf Rangkuti PhD

Tak Bertentangan dengan Syariat Islam, Budaya dan Kearifan Lokal Saat Idulfitri Perlu Terus Dilakukan

Jakarta – Perayaan Idulfitri di Indonesia biasanya diramaikan dengan berbagai budaya dan kearifan lokal, sesuai …