petugas medis corona
petugas medis corona

Faqid Al-Thahuraini: Bolehkah Shalat Tanpa Wudhu dan Tayamum untuk Petugas Medis Covid-19 ?

Bagaimana shalat petugas medis corona yang mengenakan Alat Pelindung Diri (ADP)? Bolehkah petugas medis shalat tanpa wudhu dan tayamum?


Dalam keterangan Pers terkait penanganan pandemic virus corona atau covid 19, ada salah satu petikan Wapres KH. Ma’ruf Amin yang meminta MUI dan ormas Islam untuk mengeluarkan fatwa tentang shalat tanpa berwudu dan tayamum bagi tenaga medis (23/20). Menurutnya, fatwa ini sangat dibutuhkan agar memudahkan mereka yang tidak memungkinkan shalat dengan terlebih dahulu mensucikan diri.

Posisi petugas medis dalam penanganan kasus covid-19 ini memang harus ekstra hati-hati. Sebagaimana dinyatakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan telah ada 25 orang tenaga medis yang terkonfirmasi positif terpapar virus corona dan satu orang dari mereka dinyatakan meninggal. Petugas medis bekerja siang dan malam, untuk memulihkan kondisi korban.

Sebagaimana diketahui para petugas medis yang menangani korban virus corona harus menggunakan alat pelindung diri (APD) berupa pakaian khusus yang tidak boleh dibuka sampai delapan jam. Dalam masa itu kemungkinan saat mereka harus shalat tidak bisa wudu’ maupun tayamum. Jika pilihan harus melepaskan ADP tersebut justru akan membahayakan bagi mereka. Lalu bagaimana fikih melihat solusi ini?

Dalam kajian fikih Islam, seseorang yang tidak bisa berwudhu ataupun bertayammum karena alasan alasan tertentu, diistilahkan dengan “Faqid al-Thahurain”. Abu al-Husein Ibn Salim al-‘Imrani al-Yamani al-Syafii, mencontohkan alasan alasan itu seperti seseorang yang dipenjara di suatu tempat yang tidak ada air dan debu yang suci.

Dalam kasus seperti itu Ibn Salim mengatakan orang tersebut tetap wajib melakukan shalat sesuai dengan keadaannya, yaitu tidak perlu berwudhu atau bertayamum. Ulama’ yang berpendapat seperti ini adalah Imam al-Laits, Abu yusuf, Muhammad dan Imam Ahmad.  Al-bayan Fi Madzhab al-Imam al-Syafii, 1/303

Memang salah satu syarat sahnya shalat adalah bersesuci dari hadats; baik hadats kecil maupun hadats besar. Namun, bagi Imam Taqiyuddin al-Hishni syarat ini hanya berlaku dalam kondisi normal dan situasi yang mampu dilakukan. Bila tidak! Maka boleh melakukan shalat walaupun hadats.

Imam Taqiyuddin beralasan bahwa, Faqid al-Thahuraini (orang yang tidak bisa berwudhu atau bertayammum) tetap dikenakan kewajiban untuk melakukan shalat. Bagaimana cara shalatnya, shalat sesuai dengan keadaannya (tidak berwudhu’ dan tidak bertayammum). Bahkan, menurut Imam Taqiyuddin shalat Faqid al-Thahuraini tetap dinyatakan sah berdasarkan pendapat yang shahih dalam Madzhab Syafii. (Kifayah al-Ahyar Fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, 1/90).

Sementara, menurut Imam al-Zarkasyi shalat yang dilakukan oleh Faqid al-Thahuraini, semata-mata hanya sekedar untuk menghormati waktu shalat saja. Oleh karena itu, sejatinya, shalatnya Faqid al-Thahuraini menyamai dengan shalat yang tidak memenuhi syarat (fasid/rusak). Ketika ia sudah mampu berwudu’ atau bertayamum, maka ia wajib mengqadha’ shalat yang dilakukan dalam keadaan Faqid al-Thahuraini (Khabaya al-Zawaya, 1/63).

Lalu, Bagaimana Shalat Petugas Medis Corona?

Para petugas medis yang menggunakan alat pelindung diri (APD) sehingga pakaiannya tidak boleh dibuka sampai delapan jam, atau bila dipaksa dibuka maka beresiko terjangkiti virus covid 19 sudah masuk dalam kategori Faqid al-Thahuraini. Dalam posisi itu, bukan tidak air dan debu tetapi ada kondisi yang menyebabkan kemusykilan untuk bersesuci.

Dalam kasus petugas medis itulah, mereka bisa melakukan shalat tanpa wudhu’ dan tayamum, namun ia wajib mengqadha’nya bila sudah selesai bertugas. Karena shalat petugas tersebut dimaksudkan hanya sekedar menghormati waktu shalat saja.

Allah berfirman :

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya shalau itu merupakan kewajiban yang ditentukan dengan waktu atas orang orang yang beriman. QS: al-Nisa’ 103

Menurut Imam al-Alusi, bila waktu shalat menjelang, maka tidak ada alasan apapun untuk tidak menunaikannya. Artinya, shalat wajib ditegakkan dalam kondisi apapun. Dalam bahasa Muhammad Yusuf Athfisy, tidak boleh ditunda-tunda lagi dengan alasan apapun termasuk tidak bisa berwudhu’ atau bertayamum, tetapi shalat wajib dikerjakan semampu mungkin. Ruh al-Ma’aniy, 4/213. Tafsir Himyan al-Zad, 4/101

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …