Setelah dilakukan pencarian pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1), akhirnya, kapal naas itu ditemukan. Walaupun hanya berupa bagian dan serpihan yang tidak utuh. Para penumpang yang menjadi korban pun sebagian ditemukan. Sebagian lainnya hilang lenyap.
Dari berbagai temuan korban, ada yang ditemukan hanya berupa potongan organ tubuh belaka. Ada juga jasad tanpa kepala. Lalu bagaimana cara memandikannya? Atau masihkah wajib dishalati?
Khalid al-Musyaiqih membeberkan fakta penguburan jenazah di era Jahiliyyah. Menurutnya, orang orang Jahiliyyah dan orang orang Yahudi ortodoks hanya menggali lubang saja. Kemudian jenazah dimasukkan ke lubang tersebut. Tanpa ada prosesi memandikan, mengkafani dan menshalati. Sungguh tindakan yang mirip dengan tindakan hewan. Syarh Akhshar al-Mukhtasharat, 6/39
Selanjutnya risalah Islam mengubah tradisi ini dengan ditandai dengan syari’at tajhiz al-Mayyit. Tujuannya agar manusia tidak kehilangan kehormatannya; baik selagi hidup dan bahkan hingga matipun. Sabda Nabi:
قال النبي صلى الله عليه وسلم : ” اغسلوه بماء وسدر ، وكفنوه في ثوبين ، ولا تحنطوه ، ولا تخمروا رأسه ، فإنه يبعث يوم القيامة ملبيا
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallama bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah ia dengan dua helai pakaian. Janganlah kalian menutupi bagian kepalanya, karena pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dengan mengucapkan kalimat labbaik (aku memenuhi panggilanMu). HR. Bukhari, 1218
Dari hadits ini Imam nawawi mengutip fatwa dari beberapa ulama’ memutuskan bahwa tajhiz al-mayyit (prosesi penguburan jenazah) memandikan dan mengkafani hukumnya adalah wajib kifayah (kewajiban umum. Sementara menshalati dan menguburkan hukumnya adalah fardhu kifayah(kewajiban sosial). Tapi dalam keputusan consensus ulama’ (ijma’) tajhiz al-mayyit hukumnya adalah fardhu kifayah (kewajiban sosial). Al-Majmu’, 5/113
Namun bagaimana cara mengurus jenazah dengan organ tubuh yang tidak utuh seperti korban kecelakan pesawat Sriwijaya Air SJ 182? Apakah dalam kasus itu tetap diberlakukan tajhiz al-mayyit? Atau cukup dishalati saja?
Soal tidak ada satupun teks fikih yang secara gamblang mengungkapkan tentang korban pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang tenggelan di lautan atau ditemukan dalam kondisi tidah utuh lagi. Namun Abdurrahman Baalawi mengutip fatwa al-Mutawali dan al-Nawawi memaparkan sampel seperti seseorang yang meninggal ditimpa musibah semisal tenggelam di laut, terperosok ke dalam sumur atau tertimpa reruntuhan longsor. Menurutnya, jenazah seperti ini tidak wajib dimandikan dan dikafani apalagi dishalati. Tetapi jika masih memungkinkan untuk memandikannya semisal dijumpai sisa sisa potongan tubuhnya. Maka sisa sisa potongan tubuh itu yang dimandikan dan dikafani sekaligus dishalati. Bughiyah al-Mustarsyidin, 1/197
Dari keterangan ini, maka cara melakukan tajhiz al-mayyit terhadap jenazah yang tidak utuh adalah sebisa mungkin dilakukan. Artinya, anggota tubuh yang memungkinkan untuk dimandikan, dikafani dan dishalati. Jika tidak memungkinkan untuk dimandikan, dikafani maka proses tajhiz al-mayyit tidak wajib dilakukan. Bahkan dishalati sekalipun. Karena Islam datang bukan untuk menebar kesulitan melainkan memberikan kemudahan.
“kalian diutus untuk memberikan kemudahan
bukan untuk memberikan kesulitan”.
(HR. Bukhari 216)