prasangka
prasangka

Cara Ulama Salaf Melawan Prasangka Buruk

Prof. Jamal Faruq seorang ulama al-Azhar Mesir mengutip pernyataan Syekh Abderrahman Habankah al-Maidani bahwa diharamkannya prasangka buruk (su’udzon) adalah karena manusia tidak mengetahui rahasia hati kecuali Allah dan tidak berhak meyakini adanya  keburukan pada diri orang yang menyelisihinya kecuali benar-benar terbukti nyata tanpa menerima ta’wil (penafsiran), disamping prasangka buruk merusak hubungan sosial, menumbuhkan kedengkian, permusuhan, pergunjingan dan pemutusan hubungan saudara seiman.

Su’uddzon bisa timbul karena perbedaan pendapat, pendapatan, prinsip, pemikiran, politik atau keyakinan. Nabi Muhammad memberikan warning keras terkait bahayanya bagi kerukunan keluarga atau masyarakat sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ: هَلَكَ النَّاسُ، فَهُوَ أَهْلَكَهُمْ

“Jika seseorang berkata: orang-orang itu rusak, maka sebenarnya dirinya (orang yang bicara)  yang merusak mereka”. Jika lafadz أَهْلَكَهُمْ dibaca أَهْلَكُهُمْ  maka artinya “dirinya yang lebih parah atau lebih cepat rusaknya” karena keterlenaan, kekaguman diri dan tuduhannya pada orang lain.

Diantara bentuk Su’uddzon yang terjadi di kalangan ulama dan panutan generasi Salaf (abad I-III H) adalah tuduhan pada pihak lain dengan tasyayu’ (pro Imam Ali), zindiq, ateis (ilhad), menyimpang, nawashib (anti Ahlul Bait) dan sebagainya. Su’uddzon juga sering menimpa kelompok-kelompok ekstrim hingga mereka mencaci ulama yang berbeda pandangan.

Namun tidak sedikit ulama Salaf yang selalu menjaga prasangka baik (husnudzon) mereka seperti sikap Imam Abdel Ghani al-Azdi ketika menemukan banyak kesalahan redaksi dalam kitab al-Madkhal Ila al-Shahih karya Imam al-Hakim Abu Abdillah al-Naisaburi dengan beranggapan bisa jadi kesalahan dalam kitab tersebut disebabkan oleh penyalin atau pembawa kitab dari pengarangnya. Ini salah satu bentuk husnudzon Ulama zaman dulu yang patut dicontoh.

Pendidikan Islam yang menghapus tradisi permusuhan zaman Jahiliyah adalah pendidikan husnudzon. Nabi mengajarkan prasangka baik kepada Allah dan makhluk-Nya. Prasangka baik kepada Allah dan tidak merasa aman dari makar (rekayasa) Allah adalah dua keping mata uang. Syekh Ali Jum’ah mengatakan jika hamba tidak merasa aman dari makar Allah maka dia tidak semakin berbuat maksiat, begitu pula jika tidak berprasangka baik maka hilang rasa percayanya kepada Allah.

Adapun terkait prasangka buruk, Nabi  menyebutnya sedusta-dusta pembicaraan meskipun belum diutarakan. Prasangka meskipun hanya  bahasa hati namun bisa menimbulkan energi negatif dan sikap-sikap yang lebih berbahaya dibanding lisan itu sendiri. Wajar jika al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 12 memerintahkan umat manusia agar waspada dan menjauhi su’udzon. Prasangka buruk kepada Allah dan sesama juga bisa menimbulkan sikap pesimis. Orang pesimis melihat kesulitan  di setiap peluang, sedangkan orang optimis melihat peluang di setiap kesulitan.

Imam al-Asya’ari dalam kitabnya Maqolat al-Islamiyin mengungkap  bahwa setelah wafatnya Nabi, prasangka buruk berubah menjadi sikap saling menyesatkan dan lepas tangan hingga kemudian muncul   kelompok dan partai-partai di dalam tubuh umat muslim sendiri. Namun ajaran Islam berusaha menyatukan perbedaan yang ada. Selama tidak melakukan perbuatan kufur secara sharih (terang-terangan) maka siapapun tidak bisa dianggap keluar dari Islam dan harus dianggap sebagai saudara seiman, bukan hanya sebangsa atau sesama manusia.

Upaya penyatuan umat pernah dilakukan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan ketika berhasil meraih tahta dan menyingkirkan Sayidina Ali bin Thalib. Dalam sebuah pesan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Mu’awiyah ingin masyarakat berpikiran bahwa kepemimpinannya sudah menjadi suratan takdir dari Allah. Akhirnya Mu’awiyah melayangkan surat kepada al-Mughirah bin Syu’bah agar menuliskan do’a yang pernah dia dengar dari Nabi setelah shalat untuk disebarluaskan ke masyarakat. Do’a tersebut berbunyi:

لَا إِلهَ إِلا اللهُ وَحْدَه لا شَرِيْكَ لَه، اللهُم لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ

Mu’awiyah mengajak orang berbaik sangka kepada dirinya. Berprasangka buruk hukumnya haram sebagaimana hukum bekata buruk. Prasangka buruk merupakan salah satu dari pintu setan yang berupa tuduhan dalam hati yang tidak disertai bukti.

Tiga perkara yang menjadi sebab kebiasaan prasangka buruk adalah buruknya watak dan kotornya hati, kedua kurangnya iman, dan ketiga kesombongan berserta akhlak tercela lainnya. Ketika seseorang melihat orang lain dengan kacamata yang sempit, maka akan mudah lupa bahwa manusia bagaimanapun adalah samudera luas yang melihatnya butuh kacamata luas. Diantara kacamata itu pengakuan atas keterbatasan diri dalam memahami rahasia-rahasia manusia yang lain.

Oleh karena itu, para ulama mengajarkan pentingnya siaga dengan dua kacamata dalam kehidupan sehari-hari; pertama ketika melihat orang lain melihat kebaikan dan kelebihannya, sedangkan ketika melihat diri sendiri melihat keburukan dan kekurangannya. Dengan demikian, sifat rendah hati (tawadlu) dan sikap berbenah diri akan terus terjaga.

 

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …