supremasi ras

DARURAT! Paham Supremasi Ras Sasar Anak Terisolasi, Ancam Pecah Belah RI!

Pada Jumat, 7 November 2025, seharusnya menjadi Jumat Berkah di SMAN 72 Jakarta Utara. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sebuah ledakan di masjid sekolah saat pelaksanaan salat Jumat mengubah segalanya, melukai puluhan siswa dan menebar kepanikan. Bahkan data terakhir menyebutkan bahwa lebih dari 96 korban luka luka sesuai berita terakhir. Yang lebih mengejutkan adalah hasil investigasi bahwa terduga pelaku adalah siswa kelas XII dari sekolah itu sendiri dan yang bersangkutan serinh masuk dark web dan jejak digital pelaku bom terlacak di akun tik-tok-nya.

Beberapa jam sebelum tragedi, ia mengunggah gestur tangan “OK” yang identik dengan simbol neo-nazi, disertai tulisan “here it comes”. Simbol ini identik dengan paham supremasi ras dan kulit putih. Pola ini meniru Solomon Henderson, remaja AS yang terkait komunitas ekstrem “Terrorgram”.

Paham supremasi kulit putih, ideologi yang menganggap ras kulit putih superior, terasa begitu asing di Indonesia. Namun, sejarah berkata lain. Jauh sebelum istilah neo-Nazi ada, fondasi supremasi rasial telah ditanamkan dengan kuat di Nusantara oleh kolonialisme Belanda. Pada tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dipilah secara kaku ke dalam tiga kelas: orang Eropa di puncak, Timur Asing di tengah, dan Inlander atau pribumi di posisi paling bawah. Ini adalah realitas sosial yang melahirkan segregasi sosial. Akhirnya, penjajahan sedikit banyak mewariskan kita mentalitas inferior.

Kita tanpa sadar masih menganggap warna kulit sebagai penentu harga diri, sebuah warisan langsung dari supremasi rasial. Pada Desember 2020, seorang siswa berusia 16 tahun menjadi individu pertama yang ditahan di Singapura karena ekstremisme sayap kanan. Bocah Kristen Protestan keturunan India itu merencanakan serangan terhadap warga Muslim di dua masjid menggunakan parang. Siswa lain berusia 16 tahun yang mengidentifikasi dirinya sebagai supremasis kulit putih dan bercita-cita menyerang kelompok minoritas di luar negeri pada November 2023. Bocah Tionghoa itu teradikalisasi secara mandiri melalui propaganda daring kanan jauh.

Kasus pelaku bom SMAN 72 juga tak jauh berbeda. Ia diduga sangat terinspirasi dengan ideologi white supremacy itu.Mengapa remaja Indonesia rentan? Karena mereka hidup di persimpangan yang berbahaya. Kaum muda mungkin lebih rentan terhadap ideologi ekstrem tersebut, serta tertarik pada rasa memiliki dan identitas yang tampaknya ditawarkan oleh gerakan-gerakan tersebut.

Pada usia ketika mereka mencari makna dan jati diri, kaum muda mungkin tertarik pada sensasi atau status tertentu yang muncul dari keterkaitan dengan gerakan ekstrem. Dalam banyak kasus, ada perasaan kecewa atau ketidakbahagiaan. Sebagai contoh, seorang remaja mungkin berasal dari keluarga yang bermasalah atau terpecah, atau menghadapi masalah di sekolah.

Pada kasus SMAN 72 ini, pelaku diduga kuat merupakan korban broken home di rumahnya. Di satu sisi, ada kerentanan psikologis emosi yang labil, mungkin trauma akibat bullying, atau justru kecenderungan untuk mengasingkan diri dan terisolasi secara sosial. Di sisi lain, ada paparan media sosial yang masif, di mana algoritma media sosial dan propaganda siap menyajikan konten ekstrem dalam balutan meme atau musik yang menarik.

Insiden SMAN 72 Jakarta adalah peringatan keras. Paham supremasi kulit putih dan neo-Nazi bukanlah ancaman yang jauh di Barat sana. Lebih dari itu, ancamannya berlaku pada paham apa pun yang menganggap satu ras lebih unggul dari yang lainnya.

Ideologi semacam ini, yang secara historis pernah kita alami di era kolonial, adalah pemecah belah bangsa yang paling efektif. Kini ia telah berevolusi dan ada di sini, menyusup melalui celah-celah digital. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia harus sangat berhati-hati. Kita sedang menghadapi infiltrasi ideologi apa pun yang berbasis supremasi ras, yang secara fundamental bertentangan dengan kebinekaan kita.

Paham ini bergerak secara senyap di ruang-ruang yang paling kita anggap aman, menyebar bukan melalui pamflet, tapi melalui gestur di TikTok dan obrolan di game. Ini adalah ancaman yang sulit terlacak, yang menuntut kita untuk waspada pada apa yang terjadi di balik layar gawai di rumah kita sendiri.

Bagikan Artikel ini:

About Dr. Suaib Tahir, Lc, MA

Anggota Mustasyar Diniy Musim Haji Tahun 2025 Staf Ahli Bidang Pencegahan BNPT Republik Indonesia

Check Also

sudan

Anatomi Konflik Sudan dan Bahaya Laten Politik Identitas

Sejak April 2023, Sudan telah terjerumus dalam perang saudara brutal antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) …

AI

Agama di Era AI: Masih Relevankah sebagai Penuntun Hidup?

Di era digital seperti sekarang, informasi menyebar begitu cepat dan tidak selalu jelas sumber maupun …