islam di kutai
islam di kutai

Datuk Tunggang Parangan : Kisah Islamisasi di Kutai Kartanegara

Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya atau biasa disebut dengan Datuk Tunggang Parangan adalah seorang ulama Minangkabau yang menyebarkan agama Islam di masa berdirinya Kerajaan Kutai di Kalimantan. Datuk Tunggang Parangan lahir di Tarim, Hadralmaut Yaman Selatan. Makamnya berada di desa Kutai Lama Kabupatan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.

Ketika menyebarkan Islam, Habib Hasyim tidak sendirian, ia memiliki patner bernama Datuk Ri Bandang. Dalam kitab Salasilah Raja-Raja Kutai menyebutkan bahwa selang beberapa waktu setelah naik tahta, Maharaja Makota kedatangan dua orang ulama, yakni Datuk Tunggang Parangan dan Tuan Ri Bandang Mangkasar.

Mereka berdua berhijrah ke Kutai seusai mengislamkan orang-orang di Makasar. Setelah beberapa waktu berada di Kutai, tersiar kabar bahwa orang-orang Makasar kembali kufur, maka Tuan Ri Bandang Mangkasar bergegas balik ke Makasar untuk mengajak kembali orang-orang memeluk Islam dengan meninggalkan Tuan Tunggang Parangan seorang diri di Kutai.

Dalam kisah-kisah penyebaran Islami di nusantara memang kerap banyak narasi yang memperlihatkan karamah sang penyebar Islam. Cerita itu muncul karena kekaguman para penutur terhadap karamah yang dimiliki oleh penyebar Islam. Begitu pula dengan narasi kisah Datuk Tunggang dalam mengislamkan kerajaan Kutai Kartanegara.

Dikisahkan, Datuk Tunggang Parangan berperan besar dalam masa pemerintahan Raja Aji Mahkota. Saat itu, Tuan Tunggang Parangan langsung masuk ke dalam istana menemui Raja Makota dan berseru, ”Aku datang kemari hendak membawa Baginda kepada jalan yang suci, menjadi raja yang diridhoi Allah Ta’ala dalam memerintah para hamba Allah. Raja adalah bayang-bayang Allah Ta’ala di muka bumi. Jadilah baginda sebagai raja di dunia dan raja di akhirat kelak!”

Raja Makota menjawab, ”Tuan itu katanya orang Islam, lalu apa kesaktian tuan? Jika kesaktian saya kalah oleh kesaktian tuan, maulah saya menurut perkataan tuan. Namun jika saya tidak kalah, maka saya takkan mau menurut.”

Kemudian di hadapan rakyatnya, Raja Makota berdiri tegap sembari bersedekap tangan. Ia kemudian mengambil sesuatu dan menutup sesuatu itu dengan telapak tangannya. Selang beberapa saat, dari telapak tangan Raja Makota keluarlah bara api.

Api itu terus membesar hingga membuat rakyat Kutai yang menyaksikan menjadi ketakutan. Kemudian Raja Makota menantang Tuan Tunggang Parangan untuk membawa api yang dipegangnya, dan dengan kepercayaan diri tinggi ia yakin bahwa kesaktiannya takkan bisa dikalahkan.

Datuk Tunggang Parangan tersenyum dan beliau turun ke sungai untuk mengambil air wudhu dan melakukan salat dua rakaat. Selang beberapa saat, tiba-tiba hujan turun dengan lebat hingga nyaris menenggelamkan kerajaan Kutai.

Rakyat Kutai panik dan tunggang langgang berlarian. Mereka segera mencari tempat yang tinggi untuk berlindung. Dengan penuh rasa panik, Raja Makota mencari Datuk Tunggang Parangan. Muncullah Tuan Tunggang Parangan dari dalam air kemudian berenang dari hulu menuju hilir.

Dengan penuh kearifan yang dimiliki sang Raja, iapun mengakui kekalahannya. Dan sebagai gantinya, sang raja bersedia untuk masuk Islam dan membangun masjid yang digunakan sebagai media syiarnya.

Setelah Raja Aji Mahkota wafat kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yakni Sultan Aji Dilanggar. Pada masa kepemimpinannya inilah, Islam benar-benar berjaya karena hampir semua rakyatnya meninggalkan agama nenek moyangnya yakni agama Hindu dan berpindah muslim.

Dalam beberapa naskah disebutkan bahwa dengan keperkasaan Raja Kutai yakni Ki Jipati Jayaperana yang merupakan cucu Raja Mahkota menyebar luaskan pengaruh Islam dan menaklukkan Kerajaan Hindu Martapura.

Diceritakan pula bahwa sebelum kedatangan Datuk Tunggang Parangan di tanah Kutai pada abad ke-16, Islam pernah masuk ke pedalaman Kutai dibawa oleh saudagar-saudagar Arab, di antaranya Sayyid Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar Al-Marzak, seorang ulama dari Minangkabau. Ulama-ulama tersebut belum berhasil membujuk Raja yang bertahta ketika itu untuk memeluk agama Islam.

Datuk Tunggang Parangan melakukan syiar Islam di Kutai sampai akhir hayatnya pada Abad 17 dan tak kembali lagi ke Minangkabau. Setelah wafat, jasadnya dimakamkan di Kutai Lama, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur sekarang.

Komplek Makam Aulia Habib Hasyim yang bergelar Tunggang Parangan lokasinya satu komplek dengan Makam Raja Kutai di Desa Kutai Lama, Anggana, Kutai Kartanegra di Tepian Batu negeri Jahitan Layar.

Bagikan Artikel ini:

About Ernawati

Check Also

hari guru nasional

Guru, Ustadz dan Kiayi : Sebuah Perenungan di Hari Guru Nasional

Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional untuk menghormati peran dan kontribusi para …

hebron

Menelusuri Palestina : Jejak Para Nabi dan Pesan Kebersamaan

Palestina, merupakan tanah suci yang merangkum sejarah agama-agama besar, mengisahkan jejak para nabi yang menginspirasi. …