fikih banjir
fikih banjir

Fikih Banjir : Bagaimana Status Barang yang Terhanyut Banjir?

Untuk beberapa hari kedepan, hingga bulan maret nanti, BMKG memprediksi, Jakarta akan tetap diguyur hujan, dan tentu, banjir akan diprediksi menjadi tantangan warga Jakarta dan sekitarnya. Banjir ibarat tamu yang tak diharapkan, namun begitu, ia tetap akan menjadi hantu menakutkan.

Banjir selalu menyisakan isak duka. Banyak yang kehilangan nyawa dalam bencana alam ini. Banyak pula yang kehilangan harta bendanya. Hanyut tak ketemu alamatnya. Lalu bagaimana status barang yang terhanyut banjir menurut pandangan fikih Islam?

Banjir tidak memilih barang untuk dibawa hanyut. Beragam barang yang terbawa, ada kasur, baju, telivisi, sepeda motor, bahkan mobil mewahpun ikut terhanyut dan menjadi viral di berbagai medsos. Barang -barang ini, ada ditemukan di pinggir pantai, pekarangan rumah, bahkan ada yang terdampar di teras rumah warga.

Lalu bagaimana bagi pemilik rumah, pekarangan atau tanah bila ditemukan barang-barang yang dihanyutkan banjir dari hulu ini dan diketahui siapa pemiliknya? Bolehkan mereka memilikinya?

Dalam pandangan Ulama’ madzhab Syafi’i, status barang ini tidak dikategorikan kepada barang temuan (luqathah), namun tergolong barang yang terlantar (مال ضائع) . Bagaimana status harta terlantar ini dalam kajian fikih?

Imam Syarbini mengatakan, bahwa jika pemilik barang ini sudah tidak menghiraukannya, tidak berusaha mencari barangnya yang hanyut, tidak menyebarkan informasi baik di media ataupun selebaran ‘woro woro’, maka barang tersebut bisa diambil sebagai hak milik yang memungutnya.

Tetapi bila masih ada upaya dari pemilik untuk mencari dan mendapatkan barang tersebut, maka yang memungutnya hanya diperbolehkan menyimpan barang untuk nantinya diserahkan kepada pemilik bila diketahui. Al-Iqbna’ Fi Hilli alfadz al-Taqrib, 2/98.

Hal berbeda dalam Imam Zakariyya al-Anshari, pemilik tanah yang menemukan barang hanyutan banjir di tanah miliknya boleh memilikinya setelah menyiarkan informasi tentang barang tersebut. Informasi disebarkan hingga dalam pandangan khalayak umum (urf) menilai pemiliknya sudah tidak mencarinya lagi. Jika, setelah menyiarkan informasi, diketahui dengan pasti siapa pemiliknya, maka mau tidak mau barang itu harus diserahkan kepada pemiliknya. Asna al-Matahalib, 13/105

Menyikapi harta terlantar ini, Imam Bujairami mengatakan, bahwa harta terlantar harus dimasukkan ke dalam kas Negara (bait al-mal). Bila diyakini Negara akan mendistribusikan barang tersebut kepada kepentingan umum, bila tidak, maka harta terlantar itu bisa disedekahkan kepada jalan kebaikan seperti membangun jembatan yang ambruk karena banjir, dan lain sebagainya. Hasyiyah al-Bujairami ala al-Minhaj, 4/346.

Maka, dalam konteks banjir masyarakat tidak boleh mengambil kesempatan di balik kesempitan. Seberapapun besarnya kebutuhan kita kepada materi, tetapi bukan lantas, mengorbankan saudara yang lain yang kebetulan tertimpa musibah dan kehilangan materi.

Tetap berlaku bijak adalah pilihan sikap terbaik. Kembalikan barang terlantar itu kepada pemiliknya. Karena mestinya kitalah yang menyantuni bukan malah menyatroni.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …