Fikih Kurban
Kurban

Fikih Kurban Lintas Madzhab (3): Kriteria Hewan Kurban

Dijelaskan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab, kurban secara etimologi bermakna dekat. Sedangkan menurut syara’ (fikih), kurban atau udhiyyah adalah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah. Karena untuk ibadah hewan yang disembelih selayaknya memiliki kualitas yang baik.

Berangkat dari sini, semua ulama fikih kemudian sepakat bahwa hewan kurban harus baik secara kuantitas maupun kualitas. Sehat dan tidak cacat. Tidak boleh berkurban hewan yang pincang, buta sebelah, hewan yang sakit dan hewan yang kurus tak bersumsum.

Kesepakatan ulama di atas berdasar pada hadits Nabi riwayat Imam Malik dari Barra’ bin ‘Azib. Suatu ketika Nabi ditanya: “Apa yang harus dihindari dari hewan kurban”? Beliau memberi isyarat dengan (jari) tangannya dan berkata: “Empat hal; hewan yang jelas-jelas kakinya pincang, hewan yang jelas-jelas buta sebelah, hewan yang jelas-jelas sakit dan hewan yang kurus tak bersumsum”.

Para ulama madhab juga sepakat tidak boleh berkurban dengan hewan yang memiliki kriteria hadits di atas meskipun kadarnya ringan. Misalnya, agak pincang, matanya juling, agak kurus, dan kurang sehat.

Para ulama madhab hanya berbeda pendapat tentang empat kriteria dalam hadits di atas, apakah redaksi hadits tersebut bermakna khusus atau umum? Apakah hanya empat kriteria tersebut saja yang dimaksud oleh Nabi, atau empat kriteria tersebut hanya sebagai contoh saja?

Para ulama yang berpendapat bahwa hadits di atas bermakna khusus, artinya hanya empat indikator tersebut yang harus diperhatikan, maka hewan yang yang memiliki penyakit/kekurangan selain empat hal tersebut boleh dikurbankan, sekalipun cacat atau kekurangan tersebut lebih serius. Ini adalah pendapat Ahlul Dhahir.

Sementara Jumhur Ulama memahami bahwa empat indikator tersebut hanya sebagai contoh, maka hewan yang memiliki penyakit/kekurangan melebihi empat kriteria yang disebutkan dalam hadits tidak boleh dijadikan hewan kurban. Jadi, empat kriteria tersebut merupakan standar minimal.

Bagaimana dengan hewan yang memiliki cacat/kekurangan selain empat kriteria dalam hadits namun bobotnya sama? Misalnya, memiliki penyakit telinga, penyakit gigi, dan penyakit pada anggota tubuh yang lain.

Menurut Imam Malik hewan yang memiliki cacat/kekurangan selain empat kriteria yang disebutkan dalam hadits, namun bobotnya sama, tidak boleh dijadikan hewan kurban.

Pendapat lain mengatakan boleh dijadikan hewan kurban, tapi sunnah untuk tidak berkurban dengan hewan yang memiliki penyakit/cacat yang kadarnya sama dengan empat penyakit/cacat yang disebut dalam hadits. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Qashshar, Ibnu Jallab dan mayoritas ulama Baghdad pengikut madhab Maliki.

Sementara menurut ulama Ahlul Dhahir, selain empat cacat yang disebutkan dalam hadits, meskipun kadarnya sama, boleh dijadikan hewan kurban dan tidak sunnah meninggalkannya.

Inilah pendapat para ulama madhab tentang cacat atau penyakit yang harus diperhatikan ketika memilih hewan kurban. Hewan yang akan dikurbankan harus sehat, tidak memiliki empat penyakit yang disebutkan dalam hadits di atas atau memiliki penyakit yang lebih parah sekalipun bukan empat penyakit yang disebutkan dalam hadits.

Berkurban adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sudah selayaknya kita memilih hewan yang benar-benar berkualitas dan tidak memiliki penyakit. Hamba yang baik adalah hamba yang berkurban dengan hewan yang terbaik.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …