kenapa harus berpuasa
kenapa harus berpuasa

Filosofi Puasa

Pertanyaan ontologis di atas mestinya selalu tertanam dalam diri kita, yang saat ini sedang menjalankan puasa Ramadhan sesuai dengan apa yang diperintah-Nya. Dengan pertanyan itu diharapkan semakin menguatkan keimanan kita, menyadarkan diri sebagai hamba yang berkewajiban untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya (Q.S. 51: 56), serta menjauhkan diri dari sekadar ikut-ikutan dalam setiap menjalankan amal ibadah, atau dalam bahasa agama disebut taqlid al-a’ma.

Perintah berpuasa seperti yang tertuang dalam firman-Nya Q.S. 2: 183 bukan titah biasa. Kata amanu merupakan panggilan khusus bagi mereka yang mengaku dirinya beriman. Ini berbeda dengan lafadz lain semisal ayyuha an-nas, yang merupakan seruan kepada semua manusia. Karenanya, dengan berpuasa, kita pun sebenarnya telah mengaku diri sekaligus membuktikan sebagai orang yang beriman.

Namun benarkah kita benar-benar sebagai orang beriman? Apa itu iman? Bagaimana kadar kualitas iman kita? Bagi sebagian orang, pertanyaan-pertanyaan model demikian mungkin dianggap “risih”, tidak sopan, emoh menjawab, atau lain sebagainya. Tetapi bagi sebagian yang lain, gugatan dalam bentuk pertanyaan apapun, justru akan semakin memperkuat (quwwa) dan menambah (yazid) keimanan mereka.

Kelompok yang kedua itu biasanya dilakoni oleh mereka yang pernah menekuni ilmu filsafat (filsuf?). Filsafat dengan demikian, menurut Franz Magnis-Suseno (1995), menjadi ilmu kritis yang selalau mencari jawaban. Usaha filsafat ini dengan sendirinya mempunyai dua arah: filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai, dan filsafat harus ikut mencari jawaban yang benar.

Makna puasa manakala ditinjau dari disiplin filsafat, yaitu mengandaikan adanya keterbukaan untuk selalu siap dikritik demi memperkuat argumen yang dibangun. Selama ini, jawaban-jawaban mengenai hakikat dari puasa memang didominasi dan selalu mengarah pada wilayah teologi, fiqih dan kalam.

Tetapi meski demikian, menafikan peran filsafat dalam kajian teologi, fiqih dan kalam merupakan salah besar. Sebab, setiap kali membincangkan persoalan-persoalan disiplin apapun, filsafat akan selalu hadir. Bahkan, dalam sejarahnya, filsafat dan teologi maupun kalam, pernah “bercampur baur” pada abad pertengahan, hingga melahirkan pencerahan.

Bagi umat muslim, ibadah puasa di bulan suci Ramadhan memiliki nilai keutamaan sekaligus “bernilai sakral” dibanding ibadah-ibadah lain. Puasa yang secara lughawi (aspek bahasa) bermakna menahan diri (imsak) dari makan dan minum serta kebutuhan duniawi lainnya, menurut para ulama adalah disandarkan langsung kepada sifat dan perbuatan Tuhan.

Dia (Tuhan) tidak makan dan minum. Dialah yang disembah oleh “yang lain” selain diri-Nya. Firman-Nya yang berbunyi—seperti yang tertuang dalam sebuah hadis qudsi—“puasa itu untuk-Ku”, menandakan rasa kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya.

Ibadah puasa adalah suatu bentuk ibadah yang berat. Lebih-lebih bila dilihat dari sudut pandang meterialistis-sekular. Betapa tidak, seseorang yang berletih diri menahan lapar dan dahaga sepanjang hari dalam waktu satu bulan. Hal itu tentu akan memberikan dampak negatif kepada kehidupan fisik dan pikirannya, sehingga penulis Perancis, Jean de la Fontaine, pernah berkomentar bahwa orang yang lapar tidak dapat menangkap nasihat yang baik (Ali, 2002).

Apakah itu juga berlaku bagi umat muslim yang menjalankan puasa? Tidak. Nyatanya dengan berpuasa, tidak membuat etos kerja semakin menurun. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu semakin semangat, produktif, dan kreatif. Banyak peristiwa penting bersejarah justru terjadi di bulan Ramadhan.

Karenanya, ibadah puasa di bulan Ramadhan merupakan “olah jiwa tahunan” (riyadhah as-sanawiyah), yakni proses didik diri untuk mengalahkan dominasi nafsu keduniawian yang secara representatif dilambangkan dalam pantangan makan, minum, dan pemenuhan nafsu biologis. Suatu proses jihad akbar, perjuangan besar seorang muslim untuk memerangi hawa nafsu yang bercokol dalam dirinya.

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …