Jalaluddin Rumi
Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi : Kisah Seorang Filsuf dan Nahkoda

Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering pula disebut dengan nama Rumi. Rumi dilahirkan pada 6 Rabiul Awal tahun 604 H/ 30 September 1207 M di Balkha, salah satu desa di wilayah Khurasan.

Sejak kecil Rumi sering berpindah – pindah tempat tinggal, dan mendapatkan banyak guru spiritual. Di sanalah Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.

Selain itu ada beberapa guru-guru beliau yang lainnya, salah satunya adalah Syamsuddin dari Tabriz, yang mengubahnya menjadi sempurna dalam ilmu tasawuf. Setelah Syamsuddin wafat, Rumi kemudian bertemu dengan Husamuddin Ghalabi, dan mengilhaminya untuk menulisakan pengalaman spiritualnya dalam karyanya monumentalnya Matsnawi.

Di dalam salah satu karyanya yaitu Al-Matsnawi dijelaskan mengenai kisah filsuf dan nahkoda. Di dalam cerita tersebut dijelaskan ada seorang filsuf yang serba tahu dan selalu menunjukkan kepandaiannya kepada nahkoda kapal. Suatu hari sang nahkoda mengaja seorang filsuf tersebut untuk pergi berlayar.

Selama di laut filsuf tersebut selalu bertanya tentang filsafat, sains dan seni. Namun setiap filsuf itu bertanya sang nahkoda selalu menjawab saya tidak tahu. Berkali-kali filsuf itu bertanya berbagai macam hal seolah ingin menunjukkan kepandaiannya. Sampai akhirnya filsuf tersebut mengatakan “sungguh sayang, umurmu habis tanpa mempunyai pengetahuan tentang hal ini”. Sang nahkoda tetap diam dan fokus pada pekerjaannya.

Sampai akhirnya cuaca dan badai menghampiri kapal yang ditumpangi oleh filsuf dan nahkoda tersebut. Tak lama kemudian kapal tersebut hampir tenggelam. Ketika terjadi musibah tersebut sang nahkoda memerintahkan kepada seorang filsuf agar berenang karena perahu ini akan tenggelam. Akan tetapi filsuf tersebut tidak bisa berenang. Nahkoda kapal pun berkata “sungguh sayang, umurmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang”.

Akhirnya filsuf tersebut kemudian dibantu oleh dua awak perahu tersebut. lalu filsuf itu sadar. Setelah kejadian itu, filsuf bersahabat dengan nahkoda kapal. Dan, suatu hari, filsuf tersebut memberi hadiah sebuah lukisan yang indah, berupa kapal yang dihantam ombak.

Di bawah lukisan itu tertulis tertulis : “hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air. Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusiaan dan engkau akan mengapung di lautan penciptaan”. Di sini terdapat pelajaran penting untuk tidak sombong, meskipun punya banyak ilmu hendaknya bersikap tawadhu bukannya mengejek orang yang tidak tahu. Karena setiap sesuatu membutuhkan akan sesuatunya yang lain.

Bagikan Artikel ini:

About Arip Suprasetio

Aktifis Mahasiswa Ahlu Thariqah An-Nahdilyah (MATAN) UNJ, Jakarta

Check Also

puasa dan kedamaian

Puasa sebagai Jalan Damai, Apa Maksudnya?

Puasa, sebuah praktik yang telah menjadi bagian dari banyak agama dan budaya di seluruh dunia, …

bullying

3 Tips Mengatasi Bullying dalam Islam

Bullying, atau intimidasi, adalah perilaku yang merugikan dan tidak manusiawi, yang bisa terjadi di berbagai …