fatwa online

Jangan Gampang Berfatwa, Ini Adab Mufti Menurut Imam Nawawi

Da’i saat ini tumbuh bak cendawan di musim penghujan, terutama di media-media sosial seperti Facebook dan YouTube. Mereka hadir dengan ragam gaya dan latar belakang. Ada dari kalangan pesantren dan perguruan tinggi Islam yang memang memiliki kapasitas keilmuan memadai. Namun ada juga yang memaksakan diri dengan modal popularitas saja.

Trend ini sebenarnya telah ada sejak dulu. Salah satunya di masa Imam Nawawi, ulama besar dari kalangan madhab Imam Syafi’i yang memiliki nama lengkap Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al Nawawi. Sebagai respon atas fenomena ini, beliau kemudian menulis kitab Adabu al Fatwa wa al Mufti wa al Mustafti.

Dalam karyanya ini Imam Nawawi menjelaskan etika berfatwa, kriteria seorang mufti (orang yang layak untuk berfatwa) dan juga adab bagi orang yang meminta fatwa. Memang harus diakui, ustad dan dai medsos saat ini sebenarnya tidak ada yang berstatus sebagai mufti. Masih jauh tarafnya untuk dikatakan mufti. Mereka hanya berstatus muballigh dan da’I, namun terkadang mereka tampil memberikan fatwa dengan percaya diri.

Dalam hal ini penulis ingin membatasi pada ulasan Imam Nawawi tentang adab atau etika yang harus dimiliki oleh seorang mufti. Hal ini supaya umat Islam yang hidup di era sekarang tidak tergesa-gesa dalam menilai, juga memilih seorang da’i, penceramah, guru dan kiai untuk belajar ilmu agama. Karena sekali salah, akibatnya fatal dan merugi seumur hidup.

Ada delapan setidaknya yang harus diperhatikan sebagai etika atau adab seorang mufti yang ditulis oleh Imam Nawawi.

Pertama, ketika menjawab suatu pertanyaan harus detail dan lengkap. Tidak boleh menyisakan kemusykilan atau kesamaran sehingga menimbulkan keraguan bagi orang yang bertanya. Jawaban boleh hanya memakai bahasa lisan, jika si penanya tidak mengerti bisa meminta bantuan penerjemah untuk menjelaskannya. Dan, jika pertanyaan yang diajukan minta penjelasan secara rinci, mufti tidak boleh menjelaskan secara garis besarnya saja, harus dijawab secara terperinci juga.

Kedua, mufti harus piawai dalam memahami pertanyaan. Tidak boleh hanya mencukupkan pada satu kasus saja. Satu kasus yang sama tapi konteksnya beda bisa berbeda hukumnya.

Ketiga, apabila si penanya sulit memahami jawaban yang diberikan, mufti harus bersabar. Secara tekun dan pelan-pelan memberikan jawaban sampai orang tersebut paham.

Keempat, mufti harus paham betul dengan pertanyaan. Bila masih belum memahami pertanyaan secara sempurna, mufti harus meminta penanya mengulang dengan bahasa yang lebih sempurna dan mudah dipahami. Dan, jika ada kesalahan dalam pertanyaan, mufti harus mengkoreksi dan menjelaskan kepada penanya.

Kelima, pertanyaan kemudian dibacakan dan diperdengarkan kepada seluruh yang hadir dan dimusyawarahkan. Sekalipun kepada murid-muridnya. Ini merupakan tradisi ulama salaf untuk menemukan jawaban yang lebih tepat. Namun bila sekiranya membuat malu penanya karena pertanyaannya menyangkut privasinya, mufti tidak boleh membacakannya dihadapan peserta.

Keenam, mufti menulis jawaban dengan kalimat dan tulisan yang jelas yang bisa diapahami oleh semua orang, melakukan antisipasi pemalsuan jawaban tersebut oleh orang atau pihak lain dan membacakannya kembali kepada seluruh hadirin sebagai koreksi khawatir ada kekurangan atau kesalahan.

Ketujuh, meresume jawaban dengan kalimat penegasan supaya bisa mudah dipahami orang banyak. Misalnya jawaban atas pertanyaan tersebut halal atau haram.

Kedelapan, jika ada salah seorang yang berkata “Aku lebih benar dari Nabi Muhammad” atau “Shalat hanya permainan”, mufti tidak boleh dengan serta merta memberi vonis murtad dan halal darahnya. Harus dicari bukti dulu apakah benar-benar ucapannya dengan cara ikrar atau bukti. Jika memang benar demikian, maka orang tadi diserahkan kepada penguasa untuk diproses hukum.

Inilah beberapa etika seorang mufti yang ditulis oleh Imam Nawawi sebagai syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika berfatwa atau menjawab pertanyaan. Bila merujuk pada uraian di atas, tentu tidak semua yang biasa tampil di media saat ini memenuhi persyaratan di atas. Sebab, pada intinya, keterangan Imam Nawawi bertumpu pada dua hal yang sangat substantif, yakni penguasaan terhadap ilmu dan sikap moderat menghadapi audien. Dua hal ini berarti harus menafikan egoisme madhab tertentu dan fanatisme pada golongan.

 

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …