pemerintah dzalim
pemerintah dzalim

Makna “Dzalim” dalam Hadist yang Sering Digaungkan untuk Label Pemerintah Dzalim

Akhir-akhir ini terdapat kelompok kepentigan, bahkan kelompok ekstremis yang sering menuduh pemerintah telah berbuat dzalim kepada masyarakat. Mereka tidak canggung untuk memakai dalil-dalil yang menurut mereka dapat menguatkan tuduhan mereka. Anehnya, tentu saja banyak masyarakat yang hanya taqlid tanpa mengetahui dasar dan kualitas dalil yang mereka gunakan untuk menyerang pemerintah.

Salah satu hadist yang kerap mereka gunakan untuk menjual propaganda pemerintah dzalim adalah hadist yang ingin penulis jabarkan baik secara kualitas maupun kuantitas hadist tersebut :

وعن أوس بن شُرَحبيل أحد بني أَشْجَع: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول «مَنْ مَشَى مَعَ ظَالِمٍ لِيُعِيْنَهُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ ظَالِمٌ فَقَدْ خَرَجَ مِنَ إلاسْلامِ ». رواه الطبراني في الكبير، وفيه: عياش بن مُؤنس، ولم أجد من ترجمه، وبقية رجاله وثقوا، وفي بعضهم كلام

Artinya : “Dan dari Aus bin Syurahubail ahad bani Asyja’ : Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang berjalan bersama orang yang dzolim untuk membantunya dan ia mengetahui sesungguhnya ia dzolim maka sungguh ia keluar dari Islam.” (H.R. At-Thabrani) dalam Al-Kabir, dan didalamnya : Iyash bin Muan’nas, dan saya tidak menemukan dari tarjamah, dan anak  buahnya yang lain yang dipercaya”.

Menakar Kualitas dan Kuantitas Hadist al-Tabrani.

Setelah ditakrij, penulis menemukan hadis daif yang diriwayatkan oleh al-Tabrani. Hadis tersebut daif karena ada rawi majhul bernama Iyas bin Mu’nas, yang tidak ditemukan tarjamah (biografinya). Hadis seperti ini tidak bisa dijadikan dalil karena tidak bisa diteliti kredibilitas perawinnya.

Namun, ada hadis lain yang lebih baik kredibilitas perawinya. Yaitu:

سَتَكُونُ بَعْدِى أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَىَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَىَّ الْحَوْضَ

Artinya: “Akan datang masa setelahku para pemegang kekuasaan, siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu perbuatan dzalim mereka, maka mereka bukanlah golonganku, aku bukan golongannya, dan ia tidak akan merasakan air telaga kautsar bersamaku. Dan siapa yang tidak membenarkan kebohongannya, tidak membantu kezalimannya, maka ia adalah bagian dari golonganku, dan aku adalah bagian dari golongannya dan ia akan merasakan air telaga Kautsar bersamaku.”

Matan (isi) hadis ini saya ambil dari matan Sunan al-Nasa’i, karya Imam an-Nasai. Selain an-Nasai, masih ada beberapa matan lain yang diriwayatkan oleh para mukharrij lain, seperti Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibban, al-Tabrani, al-Tirmidzi, dan beberapa mukharrij lain.

Dengan hasil takhrij tersebut, kita bisa membandingkan redaksi matan dan memahami hadis tersebut secara komprehensif dan tidak setengah-setengah. Jika kita baca hadis di atas saja, kita tidak akan menemukan mengapa Rasul berbicara seperti itu, dan dalam konteks apa Rasul bicara. Apa yang terjadi dengan Umara’ tersebut, sehingga Rasul melarang sahabat saat itu, yaitu Kaab ibn Ujrah, untuk tidak percaya dengan mereka?

Ini tidak akan kita ketahui jika hanya membaca satu potongan hadis di atas. Di sinilah pentingnya takhrij, kita bisa mengetahui asbabul wurud sebuah hadis, karena salah satu prinsip memahami hadis adalah “Fahm al-Ahadis fi dhaui asbabiha wa mulabasatiha wa maqasidiha” (memahami hadis dalam konteks sebabnya, penggunaannya, dan maksud tujuannya) sebagaimana disebutkan oleh Al-Qaradhawi dalam Kaifa Nataamal Maa Sunnah an-Nabawiyah.

Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, disebutkan lebih jelas konteks Rasul melarang hal tersebut. Larangan Rasul tersebut adalah karena sang umara’ memerintahkan kepada orang lain sesuatu yang tidak ia kerjakan.

سيكون عليكم أمراء يأمرونكم بما لا يفعلون فمن صدقهم بكذبهم واعانهم على ظلمهم فليس منى ولست منه ولن يرد على الحوض

Artinya: “Akan datang masa setelahku para pemegang kekuasaan yang menyuruh kalian melakukan sesuatu tapi ia sendiri tidak melakukannya, siapa yang membenarkan kebohongan mereka, dan membantu perbuatan dzalim mereka, maka mereka bukanlah golonganku, aku bukan golongannya, dan ia tidak akan merasakan air telaga kautsar bersamaku.” (Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Alimul Kitab, 1998), j. 2, h. 95).

Yang dimaksud dengan zalim dan kadzib

Inilah yang dimaksud zalim dan kadzib dalam konteks hadis tersebut, menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu tapi ia sendiri tidak melakukannya.

Lantas, apakah orang tersebut secara otomatis keluar dari Islam (murtad)? Tidak juga, kata “laisa minni” dalam hadis di atas bukan dimaksud murtad, tetapi Rasul Saw terbebas dari tanggungan terhadap umatnya yang melakukan hal tersebut, mengingat Rasul menjadi tumpuan dari para umatnya. Hal ini bisa dilihat dari redaksi riwayat Ibn Hibban yang menggunakan kata “Bari’” (lepas tangan).

فأنا منه بريء وهو مني بريء

Artinya: “Maka aku lepas tangan darinya dan dia terlepas dari (tanggungan)-ku” (Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993). juz. 1, h. 519.

Hal ini juga disebutkan oleh al-Mubarakfuri bahwa Rasul membatalkan tanggungan atas orang tersebut (Naqd dimmah). Hadis ini sesuai dan menjadi penguat dari QS. as-Saff ayat 2-3.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Terkait kesahihan hadis di atas, al-Tirmidzi sendiri meragukannnya karena dalam sanad hadis tersebut ada seorang rawi bernama Ayyub bin Aid al-Thai yang divonis oleh ulama sebagai orang yang daif, walaupun hadis ini disahihkan oleh Albani.

Dari penjelasan ini bisa disimpulkan bahwa, banyak diantara kita yang tidak teliti dengan hadis ini.  Ia tidak meneliti lebih jauh sebelum menggunakan hadis tersebut. Ia asal pake hadis asal sesuai dengan kepentingan politiknya. Tentu kita perlu belajar lagi sabda Nabi, “Siapa yang berbohong atas namaku secara sengaja, maka ia sudah disiapkan tempatnya di neraka.”

Dalam uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hadist yang sering beredar dimasyarakat yang berbunyi : “Barangsiapa yang berjalan bersama orang yang dzolim untuk membantunya dan ia mengetahui sesungguhnya ia dzolim maka sungguh ia keluar dari Islam.” Merupakan hadist dhoif atau hadist yang lemah, yang mana hadist tersebut tidak bisa dijadikan rujukan atau sumber hukum. Maka dari itu kita sebagai Umat Islam harus mengetahui terlebih dahulu kulitas maupun kuantitas dalil yang ingin kita gunakan.

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Syah Alfarabi

Check Also

al quran hadits

Takhrij dan Analisis Matan Hadis Terbelenggunya Setan pada Bulan Ramadan

Hadis yang merupakan sumber kedua bagi kehidupan beragama kaum Muslimin, menjadi hal yang banyak disoroti …

adab puasa

Bagaimana Hukum Belum Mengqadha Puasa Tahun lalu? Berikut Penjelasan Ulama Empat Mazhab!

Besok atau lusa sudah memasuki bulan suci Ramadhan, dianjurkan bagi orang yang memiliki hutang puasa …