islamofobia
islamofobia

Melawan Islamofobia dengan Akhlak Mulia

Melawan Islamofobia bukan dengan muka garang penuh emosi dan mudah terpancing provokasi, tetapi harus dengan akhlak mulia sebagai jati diri muslim.


Merebaknya Islamofobia di negara Barat menjadi bibit kekerasan dan diskriminasi terhadap komunitas muslim. Berbagai kejadian yang menyudutkan kelompok minoritas muslim di beberapa negara dan tindak kekerasan menyiratkan suatu gejala serius dari gelombang Islamofobia.  

Ketidaktahuan dan pandangan prejudice tentang Islam, pada satu sisi, membentuk citra negatif terhadap Islam. Namun, sisi lain sebagian kecil muslim kerap memamerkan tafsir keliru terhadap ajaran Islam yang turut membentuk orang luar dalam melihat Islam.

Islam adalah agama rahmat untuk semesta. Dari kata salam yang berarti damai, Islam disebutkan, dinamakan dan dihadirkan untuk manusia. Sejak awal karakter Islam termaktub dalam visi kerasulan sebagai pembawa rahmat seluruh semesta.

Tidak ada yang meragukan bahkan menafikan esensi Islam sebagai agama pembawa rahmat dan perdamaian. Namun, kerapkali Islam didekatkan dengan kekerasan. Agama pembawa rahmat ini dipandang sebagai sumber perang dan biang kekacauan. Dan Islam bahkan dituduh sebagai pembenar atas aksi teror.

Cara pandang sesat dan salah ini lahir dari pemikiran dan wawasan bernuansa islamofobia.  Kata ini adalah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim. Sebuah cara pandang salah karena berdasarkan asumsi dan prasangka dengan bertujuan untuk mendiskriminasi Islam sebagai ajaran dan muslim sebagai komunitas (umat).

Akar Islamofobia

Namun, apakah Islamofobia muncul tanpa alasan? Apakah islamofobia lahir begitu saja tanpa tujuan? Pertanyaan ini barangkali kajian serius yang perlu mendapatkan pendalaman lebih jauh. Tetapi setidaknya, Islamofobia itu dibentuk karena dua hal. Pertama, islamofobia dimaknai sebagai proses panjang dari sejarah yang ingin membentuk persepsi tentang Islam. Islam telah lama didefinisikan oleh kalangan orientalis lama yang tendensius, subyektif dan punya kepentingan.

Proses mendefinisikan Islam adalah menjadikan Islam dan umat Islam sekaligus menjadi obyek tidak hanya kajian, tetapi stimatisasi dan prejudice yang dibungkus oleh kajian ilmian. Islam digambarkan dari cara pandang orang lain (baca: Barat). Pola ini telah lama terjadi dan menjadi warisan intelektual yang dipelajari, ditanamkan dan dipraktekkan dalam melihat Islam.

Pada mulanya, kepentingan mendefinisikan Islam dalam kacamata orang luar ini dalam rangka kepentingan politik. Islam mendadak menjadi besar dan menjadi peradaban yang muncul mengagetkan dunia. Sehingga Islam harus dikerdilkan dengan cara didefinisikan dan dikonstruksi melalui kajian ilmiah palsu.

Kedua, islamofobia sebagai reaksi terhadap fenomena segelintir umat Islam yang mencoba membawa Islam sebagai pembenaran dalam aksi-aksi brutal. Aksi terorisme membajak ajaran Islam, misalnya jihad, itu bagian dari fakta sejarah yang tidak bisa dinafikan. Namun, kesalahannya adalah cara pandang terhadap segelintir ini untuk sekali lagi mendefinisikan Islam yang besar dan beragam.

Aksi brutal oleh kelompok teroris yang membajak ajaran Islam dianggap representasi Islam. Tentu ini kesalahan kedua. Generalisasi pandangan mengakibatkan munculnya stigmatisasi terhadap umat secara keseluruhan.

Melawan Islamofobia dengan Cinta

Pada sumber islamofobia Islam yang pertama sejatinya telah lahir pakar dan ahli yang lebih obyektif dalam melihat Islam. Para akademisi mulai meninggalkan kajian tendensius dan prejudice terhadap Islam dengan cara tidak mendefinisikan Islam, tetapi membiarkan muslim berbicara tentang Islam.

Muncullah revisi pandangan lama terhadap Islam melalui berbagai kajian ilmiah. Selain itu, bermunculan sarjana muslim yang juga menyuarakan tentang eksistensi islam yang sebenarnya di depan dunia. Islam disuarakan dan didefinisikan oleh muslim sendiri sebagai agama rahmat, pembawa perdamaian dan anti kekerasan.

Pada sumber islamofobia yang kedua umat Islam harus segera intropeksi diri dengan adanya kelompok kecil yang sering menggunakan agama sebagai dalil kekerasan. Banyak istilah pokok dalam Islam seperti jihad, khilafah dan kafir justru menjadi momok menakutkan orang luar dalam melihat Islam.

Terpenting adalah bahwa umat ini tidak boleh mudah terpancing. Umat Islam harus menampilkan watak yang matang dalam menghadapi gejala islamofobia. Watak yang matang itulah bersumber dari akhlak yang mulia yang dipraktekkan Nabi.

Melawan islamofobia dengan akhlak mulia adalah cara Nabi melawan orang kafir yang tidak menyukai Islam. Menampilkan kesantunan, pemaaf dan lemah lembut merupakan senjata untuk mengembalikan citra Islam. Praktek Islamofobia tidak efektif dilawan dengan garang apalagi mudah terpancing emosi dan provokasi.

Gejala Islamofobia justru menjadi tantangan bagi non-muslim untuk mencari jati diri Islam yang sebenarnya. Sekaligus hal itu menjadi peluang besar bagi umat Islam untuk menampilkan Islam yang sesungguhnya. Dakwah, kesabaran, dan kesantunan dalam bungkus akhlak mulia adalah kunci melawan islamofobia.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

sidang gugatan Pilpres di MK

Tanggapi Putusan MK, PBNU: Kedepankan Empat Nilai Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan sengketa Pilpres pasangan nomor urut 01 Anies Baswedan-Cak …

Ketua FKPT Jabar Iip Hidajat

Kearifan Lokal Dorong Moderasi Beragama Dengan Kedepankan Toleransi

Jakarta – Meskipun lebaran Idulfitri telah usai, semangat persaudaraan dan kerukunan yang didapat setelah merayakannya …