membahagiakan anak
membahagiakan anak

Membahagiakan Anak Bisa Menjadi Penebus Dosa

Miris sekali membaca berita beberapa minggu yang lalu tentang ibu di Lebak Banten yang memukul anaknya yang masih di kelas 1 SD hingga tewas karena sang anak sulit menerima pembelajaran saat belajar daring. Awalnya hanya mencubit kemudian memukul tubuhnya hingga mendorong yang membuat kepala anaknya terbentur lantai. Sungguh sangat tragis dan memilukan.

Anak adalah anugerah terindah dan salah satu sumber kebahagiaan dalam rumah tangga. Sebagai titipan dan amanah dari Allah, anak menjadi aset paling berharga di dunia. Sebab anak akan membuat bahagia orang tua di akhirat nanti. Doa seorang anak shaleh dan shalehah pahalanya akan mengalir tak terputus disaat kedua orang tuanya  telah meninggal dunia.

Tidak hanya sampai disini, anak ternyata mampu menjadi kaffarat (penebus) dosa orang tuanya. Yaitu dengan cara membahagiakan dan membuatnya selalu bahagia dan gembira. Hal ini seringkali luput dari perhatian orang tua. Banyak diantara mereka yang lupa akan hal ini. Bahkan tidak jarang terjadi tindak kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga.

Sebenarnya, jauh-jauh hari sebelum adanya ide pembentukan Komisi Perlindungan Anak, salah seorang ulama Nusantara, Syekh Muhammad Nawawi al Bantani dalam Karyanya Qomi’u al Thughyan ‘ala Mandzumah Syu’abil Imam, telah mengingatkan pentingnya membahagiakan dan selalu membuat gembira anak-anak.

Dalam karyanya tersebut beliau menulis riwayat Sayyidina Ali yang menceritakan seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah di saat beliau sedang duduk berkumpul dengan para sahabat. Laki-laki tersebut bermaksud mengadukan sesuatu kepada baginda Nabi.

Dengan rendah hati ia berkata, “Wahai Rasulullah, Aku telah berbuat dosa, kumuhon engkau sudi menebus dosaku”. Rasulullah kemudian menanyakan dosa apa yang telah diperbuatnya. Namun ia malu mengatakannya. Kemudian beliau berkata kepada laki-laki tersebut, “Engkau malu mengatakannya kepadaku sementara engkau tidak merasa malu kepada Allah, pergilah agar api (adzab) tidak menimpa kami disini”.

Setelah diusir oleh baginda Nabi, lelaki itu pergi dengan hati sedih dan berlinang air mata. Rasa putus asa menyelimutinya. Harapannya telah sirna. Tidak ada harapan lagi dosa-dosa yang telah dilakukan selama ini akan mendapatkan pengampunan dari Allah.

Setelah kepergian laki-laki yang dirundung duka itu, Jibril mendatangi Nabi dan menegur sikapnya terhadap orang tersebut. Jibril menginformasikan kepada Nabi bahwa laki-laki pendosa yang baru saja mendatanginya ternyata memiliki satu amalan yang mampu menjadi kaffarat (penebus) dosa-dosanya yang bertumpuk.

Jibril melanjutkan, laki-laki itu mempunyai anak kecil di rumahnya, setiap kali ia pulang ke rumahnya anaknya tersebut selalu riang gembira sebab selalu dibawakan oleh-oleh berupa hadiah mainan maupun makanan. Inilah yang menjadi kaffarat dosa-dosanya.

Demikian cara agama Islam mendidik anak-anak. Umatnya diwajibkan untuk selalu membuat bahagia anak-anaknya. Bila ajaran mulia ini dijalankan, tentunya tak perlu ada lembaga semisal Komisi Perlindungan Anak dan semacamnya. Agama Islam telah mengatur dengan sempurna bagaimana cara memperlakukan anak-anak sebagai buah hati dan titipan ilahi.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …