sejarah gelar habib
sejarah gelar habib

Menelusuri Jejak Sejarah Penyematan Gelar Habib (Bagian I)

Muslim Indonesia sudah sangat familiar dengan istilah habaib atau habib. Sebuah gelar yang lazim disematkan kepada kalangan bani`Alawiyyin yang masih memiliki garis keturunan dengan sayyidina Hasan dan Husein, putra dari Sayyidina Ali dan sayyidah Fatimah putri baginda nabi.

Di Indonesia, sebagai negara dengan komunitas muslim terbesar di dunia, kiprah  dan jasa-jasa besar kalangan habaib ini tidak dapat diragukan, baik pada sisi perjuangan kemerdekaan Indonesia, terlebih dalam penyebaran agama Islam. Sebut saja misalnya Habib Abu Bakar bin Ali Shahab yang aktif dalam pergerakan dan pendidikan Islam pada masa prakemerdekaan, Habib Muhammad bin Husein al Mutahar, pencipta lagu “Hari Merdeka”, dan M. Asad Sahab, seorang Jurnalis keturunan Arab yang ditugasi Soekarno untuk menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke wilayah Timur Tengah.

Belakangan, sosok yang terakhir ini, foto-fotonya saat mendampingi Soekarno viral di dunia maya dan banyak dinarasikan sebagai Habib Husein bin Muhammad Sihab, ayahanda dari Habib Riziq Sihab.

Awal Mula Kemunculan Gelar Habib

Secara etimologis, istilah habib (bentuk plural nya; ahbāb atau habāib) berasal dari bahasa Arab berupa isim sifat yang musytaq dari kata kerja habba – yahibbu  yang berarti “yang mencintai” dan “dicintai” (al-muhib wa al mahbûb). Ia dapat juga berarti kekasih (al-khalîl) dan orang yang memendam rindu (al-`āsyiq). Secara umum, istilah ini dapat disematkan kepada seluruh orang yang sedang diselimuti rasa cinta dan dicintai, serta yang sedang memendam rindu.

Sedangkan di kalangan umat Islam, istilah ini pada mulanya muncul di wilayah Hadramaut Yaman dan digunakan sebagai gelar bagi orang-orang yang masih memiliki pertalian nasab dengan Sayyid `Alawi bin `Ubaidillah bin bin Ahmad al-Muhajir yang merupakan keturunan nabi Muhammad saw dari Husein bin Ali.

Dalam catatan Habib Abdullah Husein bin Thahir dalam kitab Is`ādur Rofîq (tt: 3) penyematan julukan habib ini ditengarai mulai berlaku semenjak masa Habib Umar bin Abdurrahman al-`Atthas (992H – 1072 H) pada akhir abad X-XI hijriyah. Gelar ini diberikan sebagai bentuk pengakuan terhadap ahlu al-bait (keluarga nabi) serta kecintaan umat Islam terhadap mereka, sebagaimana yang telah diamanahkan dalam al-Qur`an dan hadis nabi.

Selain gelar habib, terdapat juga dua sebutan; sayyid (laki-laki) dan sayyidah (perempuan), serta syarif (laki-laki) dan syarifah (perempuan) yang  secara umum sering disematkan kepada setiap orang yang masih memiliki ketersambungan nasab dengan dua orang cucu nabi, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein. Sebagian kalangan membedakan dua gelar tadi, dengan membatasi istilah sayyid/sayyidah untuk keturunan Husein bin Ali, sedangkan Syarif/Syarifah lazim diberikan kepada para keturunan Hasan bin Ali.

Dalam catatan sejarah, untuk wilayah Indonesia, para dzurriyah (keturunan) nabi ini mayoritas adalah berasal dari garis keturunan Husein bin Ali dari jalur Sayyid `Alawi bin `Ubaidillah atau yang sering disebut dengan `Alawi Awwal, keturunan ke XI dari baginda nabi.

Selain beberapa penyebutan tadi, di wilayah Hadramaut lazim juga digunakan istilah Bā `Alawi, yaitu julukan yang diberikan kepada keturunan Sayyid `Alawi bin Ubaidillah bin Sayyid Ahmad bin Isa al-Muhājir. Julukan ini kadang juga diberlakukan secara umum dengan mencakup seluruh keturunan dari Imam Ali bin Abi Thalib.

Fase Persebaran Bani `Alawi beserta Julukannya

Pascaterjadinya pertempuran di padang Karbala antara pasukan Yazid bin Mu`awiyyah dengan para pengikut setia Sayyidina Husein bin Ali yang berakhir dengan syahid nya Sayyidina Husein dan pembantaian seluruh keluarganya pada tanggal 10 Muharram tahun 61 H., maka tinggal satu putra Husein yang masih hidup, yaitu Ali Zainal Abidin. Beliau kembali dan menetap di Madinah. Generasi berikutnya, keturunan Husein bin Ali ini melakukan migrasi ke Bashrah Irak sampai memasuki abad III hijriyah.    

Pada kisaran abad ketiga ini, kondisi perpolitikan Irak tidak stabil, banyak wilayah yang dilanda kekacauan dan pemberontakan. Pemerintahan Abbasiyah kala itu tidak mampu meredam kekacauan yang terjadi, negara tidak mampu memberikan ketenangan dan jaminan keamanan kepada rakyatnya. Kondisi semacam ini berlangsung selama bertahun-tahun lamanya.

Hal inilah yang kemudian mendorong Sayyid Ahmad al-Muhajir (cucu sayidina Husein bin Ali) untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman dan melakukan migrasi ke wilayah Hadramaut Yaman melalui jalur Hijaz pada tahun 317 H. Proses hijrah ini menjadi tonggak pertama persebaran para dzurriyah nabi ke seluruh penjuru dunia.    

Bagikan Artikel ini:

About Buhori, M.Pd

Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW.GP ANSOR Kalba

Check Also

firaun vs musa

Benarkah Fir`aun Panik Dengan Rencana Kepulangan Musa?

Beberapa hari ini saya menemukan tulisan dengan tajuk “Provokasi dan Kepanikan Fir`aun”, yang banyak tersebar …

demo anarkis

Demonstrasi Anarkis, Bagaimana Hukum Islam Memandangnya ?

Dalam sistem demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, warga negara atau rakyat …