ijitihad perdamaian Santri
Santri

Menyemai Ijtihad Perdamaian Santri

Santri secara etimologi bisa diartikan melalui kata Bahasa Arab سنتري. Kata tersebut mengandung nilai filosofis, menyimpan kesakralan sebagai suatu identitas remaja muslim paling disegani di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Santri memiliki konsep, ajaran, dan metode dalam menyelesaikan problem sosial. Santri bisa mengarungi kehidupan yang penuh dengan gelombang konflik di era modernisasi ini meski mereka harus diterjang badai kekacauan berkali-kali. Mental mereka telah diasah sejak berada di pondok pesantren dengan ajaran kemandirian. Selain itu, konsep dan metode santri tentang perdamaian tersemat pada masing-masing huruf hijaiyah dalam kata Bahasa Arab di atas (sin, nun, ta’, ra’).

Pertama, huruf hijaiyah sin sebagai sabiqun bil khairat (Orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan). Sikap santri berupa sabiqun bil khairat mengisyaratkan eksistensi gerakan perbuataannya. Mereka cenderung melakukan segala sesuatu yang mengandung kebaikan daripada segala hal yang berbau keburukan. Perbuatan kebaikan yang dilakukan santri tentu bernilai baik di sisi manusia dan bernilai ibadah di sisi Allah. Sebagaimana kita lihat secara seksama, kegiatan sehari-hari santri di Pondok Pesantren seringkali melakukan kajian permasalahan (bahsul masail), mengaji Al-Quran, berdzikir, membaca kitab kuning, shalat berjamaah, shalat malam, diskusi, gotong royong, dan lain sebagainya.  Semua kegiatan perdamaian dilakukan santri ketika fajar masih bertebaran di pagi hari sampai malam benar-benar tenggelam sempurna. Bentangan waktu dimanfaatkan oleh mereka dengan sebaik mungkin melalui kegiatan bermutu.

Dalam mengarungi lika-liku kehidupan, mereka memiliki pokok hubungan kekerabatan antara dirinya dengan selainnya. Hubungan itu termaktub dalam khitah santri berupa hablum minallah (hubungan vertikal), hablum minannas (hubungan horizontal), dan hablum minal alam (hubungan lingkungan). Melalui ketiga hubungan tersebut, santri bisa menebar aroma kesturi ditengah konflik “berduri” dalam kehidupan masyarakat. Sehingga, kegiatan berlomba-lomba menuju kebaikan memberi nuansa kedamaian—yang seolah—menyimpan sumbangsih ketentraman di hati, sejuk di jantung, serta indah  di pelupuk mata. Rupanya santri telah berhasil menciptakan suasana ramah lingkungan tanpa melakukan pacuan perlombaan keburukan—yang hanya—mengarah kepada nafsu semata.

Selain itu, doa santri dipercaya mampu menjadi lampu penerang kehidupan sepanjang siang dan malam. Doa santri berhasil mendamaikan hati, menciptakan kesejahteraan sebuah negeri. Perbuatan kebaikan yang dilakukan santri setiap hari di lingkungan Pondok Pesantren banyak memberikan pesan tersirat sebuah perdamaian. Perbuatan mereka diyakini sendiri oleh santri dan masyarakat sekitar bisa mendatangkan hidup yang tenang, sejahtera, damai, tentram. Itulah konsep barakah yang diam-diam ditanamkan santri dalam gerakan hati dan perbuatannya. Karenanya, entah mengapa, masyarakat seringkali mengarak putra-putrinya untuk menempuh pendidikan di Pondok Pesantren dengan secuil harapan bisa memberikan kebanggaan kepada keluarga dan bangsa. Selain itu, masyarakat juga berharap santri bisa menjadi agent of sosial control ketika mereka berkecimpung di tengah-tengah masyarakat menghadapi permasalahan umat.

Kedua, huruf hijaiyah nun sebagai naibul ulama (pengganti ulama’).  Secara sederhana, santri adalah orang yang belajar agama, kader pemuda penerus bangsa yang shaleh, taat beribadah, sekaligus pewaris ajaran para ulama. Sebagai pewaris ulama, mereka pun belajar ilmu agama kepada seorang kiai (ulama). Sebab, jika ditilik secara definisi, kiai adalah orang yang pemahaman keagamaannya mendalam serta mampu mengaplikasikan ilmunya dengan baik dan terwujud dalam keluhuran budi pekertinya. Konklusinya, antara kiai dan santri yang sama-sama menerapkan nilai keluhuran akan membentuk ajakan spontan kepada masyarakat tanpa ada paksaan yang mengikat.

Maka, tidak heran kemudian, jika konsep dakwah santri seringkali berpegangan kepada adagium Syekh Yahya Syarifuddin Al-imriti yang berbunyi “wan-nahwu aula awwalan an yu’lama # idzil kalamu dunahu lan yufhama“ (Contoh lebih utama didahulukan, karena perkataan tanpa contoh tidak akan dipahami). Adagium tersebut mengandung makna filosofis ajaran perdamaian. Dakwah perdamaian melaui perkataan tidak akan cukup jika tidak dibarengi dengan suri teladan. Karenanya, jika seseorang hanya mengandalkan perkataan saja tanpa disertai suri teladan, maka kemungkinan besar perkataan itu hanya masuk ke telinga, namun tidak meresap dalam hati nurani. Hal ini terjadi karena kondisi masyarakat Indonesia mulai berubah. Kebersamaan ditinggalkan diganti dengan someone liven (hidup sendiri-sendiri). Akibatnya, perkataan orang sekitarnya malah diabaikan begitu saja.

Oleh karena itu, dakwah melalui perkataan yang dibarengi dengan suri teladan perlu untuk dipraktikkan dalam menciptakan kesejahteraan—tentunya—dengan suri teladan itu masyarakat akan memahami dakwah perdamaian dengan konsep lapang dada tanpa terbebani siapa-siapa. Konklusinya, lisanul hal Afdalu min lisanil maqal (Praktik lebih utama dari pada perkataan atau teori semata). Dalam setiap gerak-geriknya, santri memang cenderung menerapkan suri teladan.

Seperti halnya dalam ranah keagamaan, santri tidak hanya mempelajari teori hukum syariat, akan tetapi mereka langsung mempraktikkan ilmu perngetahuan agamanya dalam bentuk pengamalan yang nyata. Konklusinya, al-ilmu bila amalin kassyajari bila tsamarin (Ilmu tanpa pengamalan ibarat pohon tanpa buah). Di sinilah, Franken (1973:35) mengakui, “Pesantren berupaya mengadakan interaksi aktif antara pengetahuan yang terus melampaui nalar manusia dengan tata etika dan moral”.

Ketiga, huruf hijaiyah ta’ sebagai tarikul maashi (orang yang meninggalkan maksiat). Sikap santri cenderung menjauhi hal-hal yang bersifat keji. Perbuatan keji tentu akan berdampak negatif kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Namun, santri mengerti, jika mereka mengerjakan perbuatan senonoh itu akan mengganggu ketentraman masyarakat yang ada di sekitarnya lebih-lebih mendatangkan malapetaka kepada dirinya sendiri.

Keempat, huruf hijaiyah ra’ sebagai roisul ummah (pemimpin umat). Santri ditengarai bisa memimpin umat dari kebiadaban menuju peradaban. Abd.A’la memberikan justifikasi,“pesantren, apa dan di mana pun, musti memiliki visi transformatif bagi terciptanya masyarakat berpendidikan yang secara subtansial sangat berkelindan dengan keadaban”. Lalu, menjelmalah santri sebagai Munzirul Qaum (Orang yang bisa mengajak masyarakat ke arah yang lebih baik dengan ilmu pengetahuannnya supaya dengan ilmu pengetahuan itu bisa menjaga masyarakat lebih bermartabat) sebagaimana diungkapkan dalam Q. S. At-taubah ayat 122. Dakwah perdamaiannya kepada masyarakat bersifat persuasif, tidak memaksakan kehendak, bernegoisasi dengan budaya masyarakat setempat.

Sebab itulah, di Indonesia, dalam sejarahnya, seluk-beluk pesantren muncul ketika Wali Songo melakukan dakwah menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah nusantara. Dalam ajakannya, Wali Songo beradaptasi demi menyiasati budaya masyarakat yang buruk menurut agama Islam dengan siasat perdamaian. Wali Songo berhasil mendekati secara hati-hati demi mengambil hati nurani masyarakat pribumi. Misalnya, ketika masyarakat ingin menyaksikan pementasan wayang Sunan Kalijaga, pengunjung diharuskan membaca kalimat syahadat sebagai karcis masuk. Ini menandakan bahwa Wali Songo tidak serta merta menghapus kebudayaan nenek moyang yang ada, tetapi Wali Songo menumbuhkan konsep akuturasi antara kebudayaan Islam dan kebudayaan non Islam dengan jalan perdamaian.

Kemudian, kata sembahyang yang sering kita dengarkan merupakan hasil adopsi dari proses dakwah perdamaian dengan jalan negoisasi. Kata sembahyang lahir dari budaya Hindu-Buddha, ketika zaman dahulu masyarakat Jawa menyembah Hyang Widhi (sembah Hyang) sebagai sebutan tuhan terhadap agama mereka. Hal ini tidak ditiadakan oleh Wali Songo, tetapi dipertahankan sebagai warisan. Wali Songo tidak serta merta mengganti sebutan sembahyang menjadi shalat. Sebab itulah, dakwah Wali Songo terutama Sunan Kalijaga masyhur dengan dakwah yang moderat, mementingkan perdamaian antar golongan.

Pada akhirnya, santri sebagai pewaris ulama mempunyai ijtihad keagamaan yang disublimasikan ke dalam ranah kebangsaan dan kemasyarakatan. Tiga elemen itulah (keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan) yang kini tersimpan dalam diri santri sebagai metode untuk memulai memperbaiki diri, lingkungan, agama dan menata negeri ini ke arah yang lebih berarti : perdamaian yang diimpikan bagi semua golongan melalui ajaran kekeluargaan.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Warist

Penulis lepas, Mahasiswa Pascasarjana Studi Pendidikan Kepesantrenan, Instika,Guluk-Guluk Sumenep Madura.

Check Also

mushalla

Membumikan Nilai-Nilai Moderasi dari Surau, Menolak Radikalisme Sejak Dini

Kuntowijoyo memberikan legitimasi bahwa Madura adalah pulau seribu pesantren. Tak ayal, jika Kuntowijoyo menyebut Madura …

menteri pendidikan khilafatul muslimin

Mewaspadai Infiltrasi ideologi Khilafah di Dunia Pendidikan

Kasus khilafah di negara Indonesia kembali mencuat ke permukaan hari ini. Tentu hal ini disebabkan …