jenazah covid 19
jenazah covid 19

Pandangan Fikih tentang Jenazah Covid-19 : Pemakaman atau Kremasi?

Bagaimana pengurusan jenazah covid-19 dalam pandangan Islam?


Geger covid-19 seakan tak berkesudahan. Meninggal akibat virus ini, bukan lalu masalah selesai. Justru masalah baru muncul.

Dengan cara apa dan bagaimana memakamkan jenazah covid-19 ini. Dan terakhir di mana?. Polemik semakin muncul karena ada warga yang justru menolak pemakaman jenazah korban covid-19 ini.

Pengurusan jenazah covid-19 atau penyakit lainnya menular biasanya diakhiri dengan penguburan atau kremasi, tergantung kondisi. Sebelum dikuburkan, berdasarkan rekomendasi WHO, sebaiknya mayat dimasukkan ke dalam peti mati atau kantung mayat, sesuai budaya yang ditetapkan di suatu daerah.

Namun, ini jelas berbeda dengan Islam yang dimakamkan hanya dengan kain kafan tanpa peti mati. Lalu bagaimana aturan Fikih dalam prosesi pengurusan jenazah (tajhiz al-Mayyit). Adakah peluang hukum untuk kremasi jenazah covid19?

Ada empat hal yang wajib dilakukan oleh umat saat ada salah satu saudara meninggal dunia, Pertama, memandikan. Kedua, mengkafani. Ketiga, menshalati. Keempat menguburkan. Namun di beberapa literatur kitab fikih klasik ditemukan alasan yang dapat menghapus sebagian dari empat prosesi tajhiz al-mayyit.

Contoh, orang mati tertimbun tanah dan sulit dievakuasi, maka jenazah seperti ini biarkan saja terkubur tanpa dimandikan dan dikafani bahkan dishalati. Seperti juga orang yang mati tenggelam di lautan, langsung dilempar ke lautan bila jauh dari daratan dan bila seandainya dibawa ke daratan mayatnya busuk dan menebar penyakit (Bughyah al-Mustarsyidin, 95 al-Fiqh ‘ala MAdzahib al-Arba’ah, 1/534).

Kenapa mesti dikuburkan ? Alasannya, Pertama, sebagai penghormatan kepada jenazah. Karena tanah adalah tempat terlayak bagi mayat. Kedua, tidak menimbulkan bau busuk. Ketiga, untuk antisipasi penyebaran virus penyakit. Keempat, Bebas dari gangguan binatang (I’anah al-Thalibin, 2/116).

Bagaimana dengan kremasi? Kalau tujuan kremasi untuk menghalau penyebaran virus penyakit, maka sesungguhnya tujuan itu sudah tercover dalam penguburan. Terkecuali, memang sudah tidak ada sama sekali lahan untuk menguburkan mayat atau ada lahan pemakaman, namun milik pribadi orang lain.

Untuk alasan yang terakhir ini, bukankah masih bisa dilakukan transaksi pengalihan hak milik?! Bagaimana seandainya transaksi pun tidak bisa dilakukan? Inilah yang dalam term fikih dikenal dengan “darurat”.

Dalam kondisi darurat seperti ini seseorang diperkenankan untuk melakukan sekalipun itu haram hukumnya. Sesuai kaidah fikih

الضروريات تبيح المحظورات

Artinya: Keadaan darurat (terdesak) bisa memperbolehkan melakukan sesuatu yang dilarang (Asybah Wa al-Nadhair, 1/84).

Kremasi bisa dilakukan sebagai alternatif terakhir ketika pemakaman tidak bisa dilakukan. Selagi pemakaman masih bisa dilakukan maka, kremasi tidak diperbolehkan. Terlebih polusi asap kremasi korban covid menjadi bahaya tersendiri untuk penularannya.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …