pelaku orang gila
pelaku orang gila

Pelaku Penusukan Syekh Ali Jaber Gila? Inilah Perspektif Fikih Jinayat bagi Orang Gila

Masyarakat Indonesia dikejutkan oleh berita penusukan orang tak dikenal terhadap Syekh Ali Jaber. Media massa, baik online maupun media cetak, memuat seputar kasus tersebut beberapa hari belakangan ini. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, bahwa Syekh Ali Jaber ditusuk orang tak dikenal saat mengisi kajian agama di acara wisuda Tahfidz Al-Quran di Masjid Falahudin, Jalan Tamin, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung, Minggu (13/9/2020) sore.

Akibat kejadian itu, Syekh Ali Jaber mengalami luka tusukan di bahu kanan. Pelaku penusukan yang berinesial AA (24) sudah diamankan polisi dan ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, pihak keluarga tersangka mengaku bahwa pelaku mengidap gangguan jiwa. (kompas.com, 13/09/2020 dan 14/09/2020).

Sederet kasus kriminal dan tindakan kejahatan acapkali dikaitkan dengan pelaku yang mengidap gangguan jiwa. Fenomena ini sering terjadi dan berujung pada keputusan hukum yang tidak menjerat pelaku dalam tindak pidana. Lalu bagaimana sebenarnya fikih (hukum Islam) menyikapi pelaku tindak pidana yang berstatus orang gila?

Dalam kamus Al-Mu’jam al-Wasith gila didefinisikan dengan hilangnya akal sehat atau cedera akalnya. Sedangkan dalam istilah fikih gila adalah rusaknya akal yang mengakibatkan perilaku dan ucapan yang menyimpang dari keadaan normal. Al-Taftazani memberikan definisi gila adalah rusaknya potensi akal yang mampu membedakan antara perkara baik dan buruk, sehingga tidak mampu menjangkau akibat yang ditimbulkannya. Pendek kata, gila adalah suatu keadaan yang menyebabkan akal menjadi tertutup, sehingga mengakibatkan perilaku yang tidak normal. (Hisyam Suhail al-Nuri, Atsar al-Junun fi al-Tasharrufat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah,hal. 33).

Dalam kajian ushul fikih, salah satu syarat seseorang dapat menerima beban hukum (taklif) harus memiliki sifat cakap hukum (ahliyah). Kecakapan hukum terbagi dua macam. Pertama, ahliyah al-wujub, yaitu kelayakan seseorang di hadapan hukum untuk menerima hak untuk dirinya dan kewajiban terhadap orang lain. Asas ahliyah al-wujub didasarkan pada bahwa ia adalah manusia dalam segala dimensinya. Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia yang tidak memiliki ahliyah macam pertama ini. Hingga bayi yang masih berada dalam kandungan, karena ia dapat menerima hak warisan, wasiat, dan hasil wakaf untuk dirinya.

Kedua, ahliyah al-ada’, yaitu kecakapan seseorang di hadapan hukum untuk diperhitungkan segala ucapan dan tindak tanduknya. Artinya, segala ucapan dan tindakannya berkonsekuensi hukum. Ahliyah ini berasaskan akal yang dimilki manusia. Ketika seseorang mencapai usia dewasa dan berakal sehat (baligh, ‘aqil), maka segala ucapan dan perilakunya diperhitungkan di hadapan hukum. Dengan demikian, anak yang belum mencapai usia dewasa belum memiliki ahliyah al-ada’, sehingga segala tindak tanduknya tidak berkonsekuensi hukum. (Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam, hal. 135-137).

Akan tetapi, terkadang seseorang yang sudah mencapai usia dewasa mengalami kendala pada akal sehatnya hingga menyebabkan hilangnya sifat ahliyah al-ada’. Di antara kendala-kendala yang dapat menghilangkan ahliyah tersebut adalah kondisi gila, penyakit ayan, dan pada saat tidur. Tiga kondisi ini sama sekali meniadakan ahliyah al-ada’, sehingga segala tindak tanduknya dianulir di hadapan hukum.

Teori tentang ahliyah ini merupakan hasil kreasi yang diolah dari hadis yang berbunyi:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ.

Artinya: “Pena diangkat (beban hukum tidak diberlakukan) terhadap tiga golongan: orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia mimpi basah (baligh), orang gila hingga berakal (sadar, sembuh).” (Sunan Abu Daud, No. 4405., Sunan Ibnu Majah, No. 2119., Sunan al-Nasa’i, No. 3445., Sun al-Baihaqi, No. 17671).

Lantas bagaimana jika orang gila melakukan tindak pidana atau kejahatan? Jumhur ulama dari semua kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa orang gila yang melakukan tindak pidana terbebas dari hukum kisas, namun tetap berkewajiban membayar diyat.

Dalam hukum Islam kisas adalah pembalasan yang setimpal berupa tindakan dibunuh bagi pelaku pembunuhan atau mencederai anggota tubuh yang sama. Sedangkan diat adalah denda (berupa uang atau barang) yang harus dibayar karena melukai atau membunuh orang. (Hisyam Suhail al-Nuri, Atsar al-Junun fi al-Tasharrufat al-Qauliyah wa al-Fi’liyah fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 89., Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Jilid XVII, hal. 111).

Sementara ukuran diat penuh adalah 100 ekor unta atau 200 ekor sapi, atau 2000 ekor kambing bagi pelaku yang menghilangkan salah satu anggota tubuh, baik yang tunggal semisal hidung, mulut, atau yang sepasang, seperti kaki, tangan, dan telinga. Jika menghilangkan satu dari anggota tubuh yang sepasang diatnya dibayar separuh, dan seterusnya disesuaikan dengan kalkulasi tindak pidana yang dilakukan. Terakhir, apakah orang yang mengalami gangguan jiwa termasuk orang gila, apa perbedaan dan persamaannya? Biarkan dokter ahli jiwa dan psikiater yang akan mengulas soal ini. []

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …