Al Wala Wal Bara
Al Wala Wal Bara

Pemahaman Hadis Al Wala’ Wal Bara’ Muhammad Sa’id Al-Qahthani Tidak Sejalan dengan Islam rahmatan lil ‘alamin

Al-Wala’ Wal-Bara’ merupakan sikap loyal terhadap sesama Muslim dan berlepas diri dari hal-hal yang bersifat kekufuran. Cukup banyak tokoh yang mengkaji konsep Al-Wala’ Wal-Bara’ ini. Salahsatu tokoh yang mengkaji ialah Muhammad Sa’id Al-Qahthani. Al-Qahthani merupakan salahseorang tokoh berkebangsaan Saudi Arabia, lahir pada tahun 1956 M.

Selain berkarir di bidang akademik di Universitas Ummul Qura, Al-Qahthani juga melakukan dakwah di beberapa negara seperti Belanda dalam rangka menyebarkan ajaran-ajaran salafi. Al-Qahthani termasuk salahsatu tokoh yang cukup produktif, hal ini terbukti dari beberapa karyanya. Salah satu karya monumental Al-Qahthani ialah “Al-Wala’ wa Al-Bara fi Al-Islam”, yang merupakan hasil disertasi Al-Qahthani. Senada dengan judulnya, kitab tersebut menjelaskan tentang bagaimana konsep Al-Wala’ wa Al-Bara’. Al-Qahthani meyakini bahwa Al-Wala’ wa Al-Bara’ merupakan salahsatu keyakinan yang harus dimiliki oleh setiap Muslim.

Al-Wala’ wa Al-Bara’ bagi Al-Qahthani merupakan konsekuensi dari kalimat tauhid. Sehingga kalimat tauhid menjadi pondasi utama konsep Al-Wala’ wa Al-Bara’. Ketika seorang Muslim yang telah meyakini kalimat tauhid, maka ia harus memiliki Al-Wala’ wa Al-Bara’ dalam dirinya sebagai representasi dari kalimat tauhid. Al-Qahthani menganggap bahwa meyakini kalimat tauhid tidak cukup di dalam hati, namun perlu dipraktikkan dalam perbuatan.

Sikap Wala’ hanya boleh diberikan kepada sesama Muslim, seperti membantu, menolong dan mendukung sesama. Sementara Bara’ harus diberikan kepada kelompok non-Muslim bahkan Muslim itu sendiri yang tidak sejalan dengan kelompoknya. Bahkan lebih dari itu, Al-Qahthani mengharuskan seorang Muslim menunjukkan permusuhan secara lahir maupun batin. Sikap Bara’ yang didasari pada sifat benci dapat dilakukan dengan beberapa hal yakni jihad fi sabilillah dan hijrah dari negara non-Muslim.

Dalil-dalil Al-Wala’ wa Al-Bara’ terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Diantara ayat al-Qur’an yang menjelaskan Al-Wala’ wa Al-Bara’ ialah Qs. Ali ‘Imran ayat 28, 31-32; Qs. Al-Nisa’ ayat 89; Qs. Al-Ma’idah ayat 52 dan 54. Selain itu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabrani, Nabi bersabda:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ لأَبِي ذَرٍّ: ” أَيُّ عُرَى الإِيمَانِ أَظُنُّهُ قَالَ: أَوْثَقُ؟ ” قَالَ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ” الْمُوَالاةُ فِي اللَّهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللَّهِ، وَالْحُبُّ فِي اللَّهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللَّهِ ”

“…dari Ibn ‘Abba>s ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tali ikatan iman yang paling kuat adalah menolong karena Allah, memusuhi karena Allah, cinta dan benci karena Allah”

Ayat Al-Qur’an dan hadis diatas dipahami Al-Qahthani secara literal, terbukti dalam kitabnya, Al-Qahthani meniadakan ayat-ayat dan hadis perdamaian. Namun sebaliknya, ia mewarnai karyanya dengan ayat dan hadis ekstrem seperti jihad, hijrah bahkan qital. Selain hadis tersebut, hadis utama yang mendasari sekaligus mendukung pemikiran Al-Wala>’ wa al-Bara>’ ialah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan juga Imam Muslim tentang persaudaraan dalam Sahih Bukhari dan senada dengan redaksi dalam Sahih Muslim.

” لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ”

“Tidaklah (sempurna) iman salahseorang diantara kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”

Bagi Al-Qahthani, hadis diatas merupakan hadis yang hanya boleh diberlakukan untuk sesama Muslim saja, bukan non-Muslim. Dari sini dapat diketahui bahwa penggunaan hadis dan ayat ekstrem dilakukan tentunya untuk mendukung konsep Al-Wala’ wa Al-Bara’ yang diyakini. Sehingga audiens maupun readers terpengaruh oleh pandangan Al-Qahthani untuk melakukan hal-hal yang ekstrem. Padahal Rasulullah mengajarkan perdamaian diantara sesama makhluq. Beberapa hadis Nabi juga menjelaskan bagaimana Nabi menghormati non-Muslim seperti menjenguk dan berdiri ketika jenazah orang Yahudi lewat di hadapan Nabi Muhammad saw.

” كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ، وَهُوَ عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ وَهُوَ يَقُولُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ

“Ada seorang anak kecil Yahudi yang bekerja membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menderita sakit. Maka Nabi menjenguknya dan beliau duduk di sisi kepalanya lalu bersabda: “Masuklah Islam”. Anak kecil itu memandang kepada bapaknya yang berada di dekatnya, lalu bapaknya berkata: “Ta’atilah Abu Al-Qasim Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Maka anak kecil itu masuk Islam. Kemudian Nabi keluar sambil bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari neraka.”

Hadis diatas tentunya menunjukkan bagaimana sikap damai-nya Rasulullah saw. terhadap sesama. Sehingga pemahaman Al-Wala’ wa Al-Bara’ Al-Qahthani tidak sesuai dengan sikap Nabi yang selalu menyebarkan perdamaian. Bahkan lebih parahnya, Al-Wala’ wa Al-Bara’ Al-Qahthani ini tidak sejalan dengan Tauhid Rahamutiyah. Salahsatu keyakinan bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta mewajibkan sifat rahmah selalu ada dalam diri-Nya. Bahkan beberapa hadis Nabi menunjukkan sifat rahmah Allah ditetapkan sebelum ‘proses penciptaan’. Sebagaimana Hadis Nabi riwayat Bukhari Muslim,

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي فَهُوَ مَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ ”

“Sesungguhnya Allah menetapkan satu ketetapan sebelum mencipta penciptaan ‘Rahmat-Ku lebih mendahului kemurkaan-Ku, dan itu tercatat di sisi-Nya di atas ‘arsy.”

Segala sesuatu yang diciptakan Allah swt tentu berdasarkan atas sifat rahmah-Nya. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa ciptaan Allah swt. berupa keindahan dan ketenangan, bukan berupa permusuhan yang menyebabkan kerusakan di muka bumi. Melihat sikap damai Rasulullah dan sifat rahmah Allah swt, maka Al-Wala’ wa Al-Bara’ Al-Qahthani tidak sejalan dengan keduanya, mengingat pandangan Al-Qahthani konsep ini perlu untuk melakukan tindakan memusuhi para musuh Islam dengan cara ekstrem.

Bagikan Artikel ini:

About Dian Aulia Nengrum

Mahasiswi Magister Ilmu Alquran dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta