nu
nu

Pemerintah Akan Terapkan New Normal Rumah Ibadah: Begini Sikap NU, Muhammadiyah Hingga PGI

Jakarta – Pandemi virus Corona hingga hari ini masih belum menunjukkan penurunan yang drastis di Indonesia, namun terdapat sejumlah daerah yang dapat menghambat penyebaran virus Corona secara baik.

Dengan kemajuan yang dicapai beberapa daerah tersebut dan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menyetop penyebaran virus Corona, pengetatan aturan mulai akan dilonggarkan atau yang disebut new normal.

Kehidupan new normal nantinya tidak hanya menyasar kepentingan umum namun juga tempat-tempat ibadah. Rencana pemerintah tersebut langsung mendapatkan respon dari organisasi keagamaan. Mereka pun menuntut pemerintah memenuhi beberapa prasyarat sebelum membuka kembali tempat-tempat peribadatan.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Marsudi Syuhud mengatakan, pemerintah, para kiai, dan umat Islam semuanya pasti berharap kehidupan bisa segera normal kembali di tengah Covid-19. Namun, menurut dia, sebelum masjid dibuka pemerintah harus memetakan dulu daerah mana saja yang boleh dibuka.

“Pemerintah harus bisa memetakan daerah mana yang boleh dibuka, dan daerah mana yang tidak bisa dibuka. Kalau yang masih merah ya jangan buka, karena mudharatnya akan terjadi,” ujar Kiai Marsudi saat dihubungi seperti dikutip dari laman Republika.co.id, Kamis (28/5).

Dia juga berharap pemerintah menyiapkan protokol kesehatannya secara matang sebelum rumah ibadah dibuka, sehingga Covid-19 di Indonesia tidak semakin parah. Dia pun mengapresiasi masyarakat di daerah yang kini sudah mempunyai kepedulian yang tinggi untuk menjaga daerahnya dari penyebaran Covid-19.

“Jadi saya harap dari sekarang ada data yang hijau-hijau mulailah dibuka. Dan rencana itu harus benar-benar matang sebelum diberlakukan,” ucapnya.

Kiai Marsudi juga mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Agama (Kemenag) untuk segera menyusun prokol kesehatan bagi jamaah yang akan masuk ke masjid. “Lalu, di Indonesia kayak apa protokolnya? Itu harus dibuat protokolnya. Misalnya, ditambahi bahwa tidak boleh mengajak anak yang belum baligh ke masjid. Tetap mengenakan masker dan lain-lain,” jelasnya.

Adapun, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pemerintah mematangkan skema pemberlakuan new normal. Pematangan tersebut diperlukan mengingat penyebaran virus corona jenis baru (Covid-19) belum dapat teratasi.

Ketua Uum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, di saat terjadi kesimpangsiuran antara relaksasi tempat-tempat publik dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemerintah kembali menerapkan kebijakan baru berupa new normal. Dia meminta pemerintah mengkaji dengan matang dan perlu disampaikan kepada masyarakat agar tidak membuat penafsiran masing-masing.

“Apakah new normal ini sudah dikaji dengan valid? Faktanya, dari laporan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) pandemi Covid-19 belum teratasi,” kata Haedar dalam siaran pers yang diterima Republika, Kamis (28/5).

Untuk itu, dia menilai pemerintah perlu mengkaji dengan seksama pemberlakuan new normaldan penjelasan objektif yang transparan. Terutama di beberapa hal terkait dasar kebijakan new normal, maksud dan tujuan, konsekuensi terhadap peraturan yang berlaku khususnya PSBB dan berbagai layanan publik, jaminan daerah yang dinyatakan berzona hijau, hingga persiapan-persiapan yang seksama agar masyarakat tidak menjadi korban—termasuk kemungkinan masih luasnya penularan pandemi Covid-19.

Menurutnya, pemerintah dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimiliki tentu memiliki legalitas kuat untuk mengambil kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan demikian, pemerintah dinilai akan sepenuhnya bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari kebijakan new normal yang akan diterapkan di Indonesia.

“Semua pihak di negeri ini sama-sama berharap pandemi Covid-19 berakhir. Namun semuanya perlu keseksamaan agar tiga bulan yang telah kita usahakan selama ini berakhir baik,” ungkapnya.



Juru Bicara Satgas Covid-19 Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis juga menanggapi rencana pemerintah membuka rumah ibadah secara bertahap menyusul kebijakan untuk memasuki tatanan kenormalan baru atau new normal. Untuk itu, MUI meminta pemerintah membuka data penyebaran dan kurva kasus positif Covid-19.

“Pertama, (new normal) harus mengacu pada kajian, pemerintah harus membuka dulu data penyebaran dan kurva (kasus positif Covid-19),” kata KH Cholil kepada Republika, Kamis (28/5). 

Ia menyampaikan, sesuai dengan Fatwa MUI, daerah yang steril dari virus corona atau Covid-19 harus membuka rumah ibadah. Sehingga, masyarakat bisa melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah di masjid.

Untuk tempat yang masih rawan penularan Covid-19, maka tetap dikumandangkan adzan di masjid. Tapi yang melaksanakan shalat hanya imam dan marbot saja. Masyarakat sekitar tidak perlu ke masjid, cukup melaksanakan shalat di rumah masing-masing.
 
“Sekarang kita perlu mendapatkan kriteria new normal seperti apa, protokol yang harus dipatuhi seperti apa, termasuk pesantren bagaimana melakukan physical distancing dan disiplin (gunakan) masker, memberi asupan yang cukup untuk menjaga kesehatan,” ujarnya. Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom mengatakan, pembukaan rumah ibadah tidak bisa dilakukan di semua tempat. Menurutnya, setiap kasus Covid-19 di setiap daerah berbeda-beda.

“Saya kira hal ini tidak bisa disamaratakan untuk seluruh Indonesia. Saya sendiri berpendapat lebih baik menunggu hasil pemodelan hingga 4 Juni ya, sesuai arahan sebelumnya, sekaligus melihat perlembangan paska orang-orang pulang mudik,” kata Gomar, Kamis (28/5).

Di samping itu, pemerintah juga perlu hati-hati untuk pembukaan rumah ibadah. Namun ia tetap memberikan apresiasi kepada Menteri Agama yang melonggarkan rumah ibadah, sehingga memungkinkan umat untuk  beribadah secara berjamaah.

Kendati demikan, apabila rumah ibadah sudah bisa digunakan untuk ibadah berjamaah, sebaiknya pimpinan umat dengan sungguh-sungguh menjalankan prosedur, dan protokol kesehatan secara ketat. Di antaranya, setiap orang yang masuk ruang ibadah diukur suhu tubuh, mencuci tangan di dekat pintu masuk, dan menggunakan masker.

Ia mengungkapkan, jamaah yang hadir perlu diatur jaraknya sesuai dengan protokol yang ada, sehingga jumlah umat juga perlu dibatasi. Di samping itu, durasi ibadah harus dibatasi, semakin cepat selesai maka akan semakin baik. Lalu ditekankan agar umat antara satu dengan yang lain tidak saling bersalaman atau bersentuhan.

“Namun demikian, saya tetap berpendapat tergantung wilayahnya. Dalam hal ini peran gugus tugas atau otoritas setempat sangat menentukan daerah mana yang sudah bisa dan daerah mana yang belum,” ucap Gomar.

Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan akan membuka kembali rumah peribadatan setelah tatanan normal baru diterapkan meskipun pandemi Covid-19 belum berakhir. Diaktifkannya kembali rumah peribadatan tersebut dilakukan dengan menaati prosedur standar new normal dan protokol kesehatan.

“Kami membuat konsep umum adalah secara bertahap kegiatan ibadah di rumah ibadah dibuka kembali dengan tetap mentaati prosedur standar tatanan baru new normal yang telah dinyatakan oleh Presiden pada 15 Mei 2020 lalu,” katanya dia, Rabu (27/5).

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

ilustrasi masjid tempat ibadah umat

Khutbah Jumat: Menjaga Semangat Beribadah Ramadan di Bulan Syawwal

Khutbah I الحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ حَرَّمَ الصِّياَمَ أَيّاَمَ الأَعْياَدِ ضِيَافَةً لِعِباَدِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلٰهَ …

lapar

Saya khawatir Apabila Perut Kenyang akan Lupa pada yang Kelaparan

Ramadan telah berlalu, tetapi ada nilai sangat penting yang harus disisakan. Selalu terus merawat keadaan …