puasa cinta dunia
puasa cinta dunia

Puasa sebagai Penawar dan Pengikis Rasa Cinta Dunia

Sebagai manusia kita tidak akan pernah luput dari berbagai ujian, termasuk cobaan kenikmatan keduniawian. Memang cukup manusiawi jika manusia memiliki kecenderungan atau rasa suka terhadap hal duniawi.

Namun, perlu diingat bahwa kelalaian terhadap urusan akhirat karena urusan duniawi adalah hal yang harus dihindari. Dunia hanyalah jembatan yang harus dilalui dan tujuan akhir perjalanan ini adalah akhirat.

Menurut Imam al-Ghazali cinta dunia adalah pangkal dari segala dosa. Dunia bukan sekedar harta dan tahta. Harta dan tahta adalah bagian kecil dari kehidupan dunia yang sangat luas ini. Kehidupan dunia adalah kondisi objektif sebelum seseorang meninggalkan alam ini. Apa pun yang ada pada sebelum meninggal adalah kehidupan dunia kecuali ilmu pengetahuan, ma’rifat dan kebebasan.

Alasan-alasan yang disuguhkan oleh Imam Ghazali tidak hanya menggugah aspek intelektual tapi juga mengguncangkan wilayah emosional. Al-Ghazali bukan cuma memberikan kehangatan intelektual, tetapi juga menjernihkan lensa spiritual.

Lihatlah, orang-orang menjadi buta dengan norma-norma agama hanya karena mengejar kemewahan dunia. Betapa banyak manusia tidak lagi memperhatikan batasan halal-haram demi mendapatkan kekayaan. Berapa banyak orang menggunakan kekerasan dan saling membunuh hanya untuk meraih kekuasaan. Alangkah banyaknya para pemuda yang mengorbankan keyakinannya di depan kecantikan paras wanita yang dipujanya.

Harta, tahta, dan pria/wanita merupakan rangkaian bunga kehidupan yang sangat menggoda. Tapi persoalannya, apakah kecintaan kepada dunia dilarang oleh agama? Apakah mencintai keindahan terlarang? Bukankah perasaan cinta ini tumbuh bersemi dalam setiap jiwa? Sungguh sebuah dilema yang mesti dicari jalan keluarnya.

Bila kembali kepada wacana AI-Quran, sebenarnya kecintaan terhadap keindahan dunia merupakan fitrah setiap manusia, tidak peduli siapa pun orangnya. Al-Quran melukiskan hasrat instingtif ini dengan sangat indah:

Artinya : ”Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wam’ta-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. ltulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembaliyang baik (surga).” (QS.Al-lmran: 14).

Dalam ayat ini dikatakan bahwa kecintaan kita kepada kemewahan dunia dalam segala aspeknya merupakan sesuatu yang indah. Artinya, setiap kita memang mempunyai kecenderungan untuk mencintai keindahan dunia.

Seorang ulama besar kontemporer dari Tunisia, Muhammad bin Asyur, dalam tafsirnya mengartikan fitrah sebagai kecenderungan yang diciptakan Allah pada setiap manusia, baik yang berhubungan dengan jasmani maupun ruhani. Dengan demikian, kecintaan kita kepada perempuan, anak, harta dan kemewahan duniawi adalah manusiawi, keinginan yang fitri, dan juga merupakan anugerah Allah.

Kita dapat membayangkan seandainya tidak ada kecenderungan saling mencintai antara lelaki dan perempuan, maka bagaimana kelangsungan hidup umat manusia dapat dilanjutkan. Apabila kita tidak mempunyai kecintaan pada kemegahan dunia, tentu saja dunia ini kosong dari gedung-gedung dan taman-taman yang menghiasinya. Persoalannya adalah bukan kita membenci duniawi tetapi bagaimana mengendalikan diri agar tidak diperbudak dan dikontrol oleh duniawi.

Ramadhan Madrasah Mengelola Hati

Di sinilah, bulan suci Ramadhan adalah sebuah madrasah yang melatih manusia untuk mengendalikan diri dari kecintaan berlebih terhadap duniawi. Puasa mengajarkan manusia untuk sejenak menghela dan menyepi dari kemegahan yang dimiliki menuju nestapa yang dirasakan sepanjang hari.

Ramadhan merupakan momentum untuk mengikis kecintaan yang berlebihan terhadap dunia dan menumbuhkannya dengan kecintaan kepada akhirat. Sebab yang namanya hati itu tidak pernah sunyi dari mencintai sesuatu.

Ketika dunia hadir dalam kalbu kita, akhirat akan keluar darinya. Di sinilah letak betapa pentingnya menjadikan ibadah puasa sebagai metode pembelajaran seseorang mengeluarkan dunia dari hati dan mengisinya dengan kecintaan kepada akhirat.

Dengan berpuasa, setidaknya seseorang akan sadar bahwa kenikmatan yang ada di dunia hanya sementara, terbatas waktu dan hanya kenikmatan semu tanpa asupan nilai-nilai ukhrowi. Orang yang bersungguh-sungguh menjalankan dan mempraktikkan nilai-nilai puasa akan sadar bahwa pada hakikatnya segala yang ada di dunia ini seharusnya menjadi budak, bukan malah diri yang diperbudak oleh dunia.

Manusia juga akan memahami hakikat dunia dan segala fitnah-fitnahnya :

بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ

Artinya: “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. “ (QS Al-Anfal [8]: 39).

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Cahyo

Mahasiswa Program S2 PTIQ Jakarta

Check Also

Hari Santri

Memperingati Hari Santri Sebagai Wujud Hubbul Waton Minal Iman

Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tanggal 22 Oktober 2015 telh ditetapkan sebagai peringatan hari santri …

meninggal di tanah suci

Belajar dari Peletakan Hajar Aswad : Praktek Demokrasi Ala Nabi

Pada saat ini banyak Negara islam ataupun Negara yang mayoritasnya adalah muslim turut mengadaptasi sistem …