Islah Bahrawi
Islah Bahrawi

Radikalisme Kini Tak Lagi Berbentuk Organisasi Besar Tapi Bisa dari Individu Muda Tersesat di Ruang Digital

Jakarta – Tragedi ledakan di SMAN 72 Jakarta menjadi pengingat keras bahwa ancaman radikalisme kini tak lagi berbentuk organisasi besar, melainkan bisa lahir dari individu muda yang tersesat dalam ruang digital.

Pengamat terorisme Islah Bahrawi menilai, kasus ini menyingkap sisi gelap generasi muda yang kehilangan arah spiritual dan saluran normatif dalam mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap kehidupan sosial.

“Generasi muda sekarang sangat eksplosif karena tidak punya ruang untuk menyalurkan kegelisahannya melalui jalur yang sehat — sosial, ekonomi, atau politik,” ujar Islah, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI), Selasa (11/11/2025). “Ketika ruang-ruang itu tertutup, maka pelampiasannya bisa berupa tindakan ekstrem, tawuran, atau bahkan kekerasan yang lebih besar.”

Menurut Islah, media sosial kini menjadi “ruang dakwah baru” bagi ideologi kebencian. Tanpa bimbingan moral dan keagamaan yang kuat, generasi Z dan Alpha mudah terjebak dalam algoritma kebencian yang memperkuat emosi negatif dan menormalisasi kekerasan.

“Proses radikalisasi hari ini tidak lagi memerlukan ideologisasi panjang. Cukup dengan algoritma yang memberi ruang bagi kebencian, maka terjadilah echo chamber yang menjerumuskan anak muda pada ekstremisme,” jelasnya.

Islah menilai, kondisi psikososial dan spiritual anak muda hari ini sangat rentan karena lemahnya kontrol dari lingkungan terdekat — keluarga, tetangga, dan masyarakat.

“Pencegahan ekstremisme tidak bisa hanya dibebankan kepada negara. Pengawasan harus dimulai dari keluarga, dari RT, RW, hingga komunitas keagamaan. Semua elemen sosial harus diaktifkan kembali secara sistematis,” tegasnya.

Ia mencontohkan bahwa di negara maju seperti Amerika Serikat pun, aksi lone actor sulit dideteksi meski dengan sistem keamanan canggih. Karena itu, Indonesia perlu memperkuat benteng moral dan sosial sejak dini.

Sebagai solusi, Islah mendorong hadirnya narasi keagamaan yang lebih humanis dan relevan bagi generasi muda. Ia menilai, pendekatan berbasis cinta kasih, empati, dan kemanusiaan akan jauh lebih efektif dibandingkan ceramah yang bersifat dogmatis.

“Kontra-narasi radikalisme harus dimulai dari membangun kecintaan terhadap sesama manusia. Itu inti dari semua ajaran agama. Bukan sekadar hafalan dalil, tapi penanaman nilai-nilai kasih dan perdamaian,” tandasnya.

Tragedi SMAN 72 menjadi refleksi bahwa pendidikan dan keluarga tak hanya bertugas menyalurkan ilmu, tapi juga menumbuhkan iman, akhlak, dan empati — agar generasi digital tumbuh dengan kecerdasan yang beradab.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

tidur di masjid

Etika Tidur dan Istirahat di Masjid

Bolehkah tidak di masjid? Pertanyaan ini sering mengusik kita yang membelah antara pro dan kontra. …

Ken Setiawan 1

Lemahnya Literasi dan Pemahaman Agama Sejati Buka Celah Radikalisme di Kalangan Pelajar

Jakarta – Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, menilai lemahnya literasi dan pemahaman agama yang …