dai
dai

Tafsir Surat An-Nahl ayat 125-126 : Cara Dakwah yang Semestinya

Dakwah merupakan salah satu ajaran Islam, tentu saja. Namun, tidak semua umat muslim memahami prinsip dan penerapannya. Dakwah yang semestinya dilakukan dengan cara santun dan ramah, berubah menjadi semacam teror yang penuh caci-maki dan ancaman. Alih-alih mencerahkan, dakwah semacam itu justru akan melahirkan citra negatif bagi Islam, seakan Islam merupakan agama yang represif, identik dengan kekerasan dan pemakasaan.

Model dakwah semacam itu seharusnya tidak terjadi. Pasalnya, Allah telah memberikan tuntunan pada umatnya tentang bagaimana semestinya berdakwah. Hal ini telah disebutkan dalam firman-Nya:

ٱدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلْحِكْمَةِ وَٱلْمَوْعِظَةِ ٱلْحَسَنَةِ ۖ وَجَٰدِلْهُم بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ

Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl: 125).

Membaca ayat tersebut, setidaknya kita dapat menemukan model dakwah yang dianjurkan, yakni berdakwah dengan al-ḥikmah, mau’iẓah ḥasanah dan mujadalah (berdebat) dengan cara yang baik. Namun perlu dipahami, ketiganya merupakan sebagain contoh saja. Model-model berdakwah sebagaimana disebutkan itu berpijak pada prinsip yang harus selalu dipegangi dalam berdakwah. Prinsip tersbut adalah lemah lembut dan ramah.

Menarik kiranya menyimak pendapat Al-Qurthubi dalam kitab Al-Jāmi’ li Aḥkām Al-Qur’ān atau atau yang lebih dikenal sebagai Tafsir Qurthubi. Menurutnya, Qs. An-nahl ayat 125 diturunkan di Mekkah, ketika adanya perintah untuk mengadakan perdamaian dengan orang-orang Quraisy. Dalam Qs. An-nahl ayat 125  itu, Allah memerintah Nabi Muhammad agar mengajak mereka untuk memeluk agama Allah dengan ramah dan lemah lembut (at-talaṭṭuf wal layyin), bukan dengan mencacimaki dan mencela  (al-muḥāsyanah wa al-ta’nīf).

Lebih lanjut menurut Al-Qurthubi, prinsip dakwah semacam itu hendaknya dipegangi oleh semua umat Islam dalam berdakwah. Tidak hanya sekali dua kali, namun hingga kiamat nanti.  Selain itu, rinsip dakwah tersebut juga perlu bagi semua sasaran dakwah, baik muslim maupun nonmuslim. Itulah sikap yang seharusnya diterapkan dalam berdakwah.

Tentu ada alasan dibalik anjuran tersebut, bahwa Allah telah mengetahui keadaan sebenarnya, antara orang yang tersesat dan orang yang mendaat hidayah. Alasan ini disebutkan dalam redaksi “إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِۦ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِٱلْمُهْتَدِينَ”. Dengan begitu, sebnarnya kewajiban kita sebagai umat muslim tidak lain hanyalah mengajak (berdakwah) untik menuju kebaikan.  Perihal kesesatan dan hidayah, spenuhnya adalah hak preogratif Allah, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk mencela, mencacimaki, maki dan mencela orang lain.

Penjelasan semacam itu mungkin menimbulkan pertanyaan dalam benak kita. Bagaimana menyikapi seruan perang yang pernah diperintahkan kepada Nabi dan umat Islam? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya patut mebaca ayat lanjutan, yakni Q.S An-Nahl ayat 126:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا۟ بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِۦ ۖ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّٰبِرِين

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (QS. An-Nahl: 126).

Ayat di atas tentu saja tidak boleh boleh ditelan mentah-mentah, diterima sebagai dalil pembenar berdakwah dengan cara kekerasan dan peperangan. Meski terdapat dalam surat yang sama, ayat 126 itu diturunkan dalam konteks yang berbeda.

As-Suythi dalam Tafsir Jalalain, menyatakan bahwa ayat di atas diturunkan di Madinah, pasca terbununya paman Nabi, yakni Sayyid Hamzah. Saat itu, Nabi berkeinginan untuk membalas kematiannya pamannya itu. Nabi pun bersumah bahwa beliau akan membalas perbutan itu 70 kali lipat. Namun apakah hal itu benar-benar dilakukan Nabi? faktanya tidak.

Keinginan Nabi untuk membalas kematian pamannya itu direspon oleh Allah dalam Qs. An-Nahl ayat 126 di atas. Dalam ayat tersebut, pertama-tama Allah melarang Nabi melakukan pembalasan 70 kali lipat itu. Seandainya pun ingin membalas, Allah hanya memeperbolehkan pembalasan yang sama seagaima yang termuat dalam redaksi “وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا۟ بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ”. Namun perlu diingat, hal ini bukan berarti suatu pembalasan tersebut bukanlah solusi terbaik.

Lantas apa hal terbaik yang harus dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini telah terkandung dalam redaksi selanjutnya, yakni “وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّٰبِرِين”. Redaksi redaksi ini ditekanlan bahwa kedabaran merupakan hal terbaik yang bisa dilakukan, bahkan saat berhadapan dengan orang non-muslim yang mmebunub paman Nabi. Mendengar ayat tersebut, sontak Nabi membatalkan niatnya untuk membalas kematian pamannya itu. Kemudian beliau membayar denda (kifarah) atas sumpah yang telah terucap.  

Coba kita renungkan, bagaimana sikap Nabi di atas. Bayangkan bagaimana perasaan anda jika mengalami kejadian semacam itu. Sebagai manusia biasa, wajar jika kita merasa geram dan sakit hati saat sanak keluarga kita dibunuh. Namun hal itu bukan suatu alasan untuk berbuat sesuatu suatu kebaikan dan bersabar.

Sikap Nabi semacam itulah yang semsetinya kita teladani dalam berdakwah. Menekankan prinsip lemahlembut dan ramah, bukan cacimaki, kekerasan bahkan peperangan. Dengan begitu, sebenarnya tidak ada alasan untuk berdakwah dengan cara-cara tidak baik, kecuali hal itu sebenarnya merupakan agenda politik yang dibungkus dengan label ‘dakwah’.

Waallahu A’lam…

Bagikan Artikel ini:

About Heru Setiawan

Staff Departemen Manuskrip dan Turats, IJIR-IAIN Tulungagung

Check Also

idul adha

Tafsir QS. Al-Kautsar Ayat 1-2: Renungan Kurban dan Shalat Idul Adha

Bulan Dzulhijah segera datang. Artinya umat muslim di belahan dunia manapun akan segera merayakan Idul …

Haram Berzikir dengan Tasbih

Haram Berzikir dengan Tasbih, Benarkah?

Hadits ini merupakan asal (dasar) yang sahih tentang ketepatan (taqrir) dari Nabi atas diperbolehkannya apa yang diperbuat perempuan tersebut