tajassus
tajassus

Tajassus: Perbuatan yang Tidak Boleh dalam Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Salah satu bentuk kewajiban bagi tiap-tiap umat Islam ialah beramar ma’ruf dan nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran). Hal ini didasari oleh firman Allah dalam QS. Ali Imron Ayat 110.

Namun demikian, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan saat melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Karena ini hubungannya dengan orang atau kelompok lain, maka dari itu, biar tidak terjadi kesalahpahaman dan agar tetap menjaga harga diri seseorang, hendaknya menghindari tindakan salah satunya yakni tajassus.

Dinding pemisah antara amar makruf dan tajassus sesungguhnya terlihat sangat tipis sekali bagi orang awam. Amar makruf yang digadang-gadang dapat menjadi ladang penuai pahala, salah-salah justru menjadi dosa yang tak terasa akibat adanya tajassus.

Terlalu bersemangat dan terlalu banyak prasangka pada orang lain, menjadi salah satu sebab kuat munculnya tajassus yang dilarang agama. Allah SWT berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ – الحجرات: 12

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah maha penerima taubat lagi maha penyayang.”(QS. Al-Hujurat: 12)

Tajassus sendiri jika dialih bahasakan memiliki arti meneliti dan mencari-cari kesalahan orang lain. Hal ini mengikuti penafsiran sahabat Qatadah RA dalam Tafsir Durrul Mantsur karya As-Suyuti. Demikian juga lekat dan identik dengan amar makruf yang “kebablasan”.

Dikutip dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, saat beliau menjelaskan hadis Nabi tentang tingkatan amar makruf, beliau menukil pendapat Imam Haramain, bahwa sejatinya amar makruf yang menjadi kewajiban kita memiliki batasan-batasan. Beliau mengatakan bahwa hanya tegurlah kemaksiatan yang benar-banar kita ketahui.

Pesan Imam Haramain dalam kitab al-Minhaj, “Tidak dibenarkan bagi orang yang hendak melakukan amar makruf untuk meneliti, menyelidiki, dan mencari-cari kesalahan orang lain. juga merepotkan diri dalam berbagai prasangka. Akan tetapi yang benar, jika mendapati ada kemungkaran yang dilakukan oleh orang lain, boleh orang tersebut bertindak.”

Senada dengan Imam Haramain, ulama besar lain Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga menghimbau keras untuk menghindari tajassus. Jika kita kebetulan tahu aib orang, langkah yang benar menurut beliau adalah menyembunyikannya dari orang lain. Jika diperlukan menasihati, hendaklah tidak ditengah khalayak ramai.

Kata beliau, “Tidak diperbolehkan memperbanyak membahas aib-aib manusia, menyebut-nyebut kesalahan mereka, dan membuka keburukan mereka. Kecuali orang tersebut orang munafik yang dimusuhi. Hal yang wajib dilakukan orang Islam ketika mengetahui keburukan saudara muslimnya adalah menutupi keburukan tersebut. Dan memberi nasihat dengan lemah lembut dan kasih sayang. ‘Allah akan senantiasa menolong hambanya, manakala hambanya masih senantiasa menolong saudaranya.”

Tiga Poin Penting

Mengutip dari Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Syaikh Muhammad Jamaludddin Al-Qasimy merangkum syarat-syarat amar makruf ke dalam tiga poin penting. Pertama, apa yang dihadapi adalah kemungkaran. Kemungkaran yang dimaksud adalah sesuatu yang memang dilarang untuk dilakukan menurut kacamata syari’at. Kata-kata munkar memiliki arti yang berbeda dengan maksiat. Contoh sederhana, jika ada anak kecil yang minum minuman keras, itu termasuk tindakan munkar yang wajib diingkari, meskipun bukan termasuk maksiat. Sebab anak kecil belum terkena taklif (tuntutan hukum syari’at).

Kedua, tindakan munkar haruslah nampak tanpa perlu adanya tajassus. Sebagai contoh, jika ada orang yang menyembunyikan maksiatnya didalam rumah dan mengunci rapat-rapat pintunya, kita tetap dilarang masuk tanpa ijin untuk melihat maksiat yang dia lakukan. Tidak dibenarkan pula mencari-cari kesalahan orang lain tanpa bukti nyata. Oleh agama Islam, kita senantiasa dituntun untuk berprasangka baik dan berfikir positif kepada sesama saudara muslim.

Ketiga, perkara yang dihadapi bukan termasuk masalah khilafiyyah antara Imam Madzhab. Maksudnya, kita yang bermadzhab syafi’iyyah tidak dibenarkan menegur penganut madzhab lain yang melakukan sesuatu yang dilarang dalam lingkup madzhab kita.

Bagikan Artikel ini:

About M. Alfiyan Dzulfikar

Check Also

ilustrasi masjid tempat ibadah umat

Bersemangatlah dalam Beribadah (2): Cara Menghindari Kemalasan

Dalam tulisan sebelumnya, sudah dijelaskan betapa Allah SWT menganugerahkan kemurahan dan kemudahan kepada kita untuk …

ibadah

Bersemangatlah Dalam Beribadah (1): Tiada Kesukaran dalam Agama

Allah memerintahkan kita beribadah, pastilah itu bermanfaat dan baik untuk kita sendiri. Tak mungkin ada …