Peringatan kemerdekaan Republik Indonesia menuai polemik dan ternodai kebijakan irasional. Pasalnya sebanyak 18 personel Paskibraka Nasional putri dituntut melepaskan jilbab saat dikukuhkan Presiden Joko Widodo di Ibu Kota Nusantara (IKN), Selasa, belum lama ini. Lembaga terkait, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dinilai tak menjalankan tugasnya menjaga ideologi Pancasila, yang diperbuat malah sebaliknya dengan memproduksi larangan pemakaian jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Alasannya pun klise, mengikuti aturan dan telah disepakati seluruh peserta.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menilai aturan yang melarang anggota Paskibraka perempuan berjilbab adalah pelanggaran konstitusi. Selain itu, aturan baru Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (BPIP) itu justru tak mencerminkan sikap pancasilais yang menghormati perbedaan keyakinan. “Ini pelanggaran konstitusi dan sungguh tidak pancasilais,” ujar Cholil dalam keterangannya, Rabu (14/8/2024).
Cholil juga menilai aturan terbaru BPIP itu tak rasional dan berkesinambungan dengan pakaian Paskibraka yang dulunya telah ditetapkan boleh menggunakan jilbab. “Kan sangat janggal dan tak rasional, negara yang berdasarkan Pancasila melarang adik-adik perempuan di Paskibraka menggunakan jilbabnya,” tandasnya.
Ditambah lagi, melalui rilis pada Rabu (14/8/2024), BPIP menjelaskan bahwa sejak awal berdirinya Paskibraka sudah dirancang seragam beserta atributnya yang memiliki makna Bhinneka Tunggal Ika. Kemudian menerbitkan Peraturan BPIP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang mengatur mengenai tata pakaian dan sikap tampang Paskibraka.
Tahun 2024 ditegaskan kembali berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Nomor 35 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut, dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, namun mendapatkan resistensi publik.
“BPIP tidak melakukan pemaksaan lepas jilbab. Penampilan Paskibra putri dengan mengenakan pakaian, atribut dan sikap tampang sebagaimana terlihat pada tugas kenegaraan, yaitu pengukuhan Paskibraka adalah kesukarelaan mereka dalam rangka mematuhi peraturan yang ada,” Yudian Wahyudi, melakukan pembelaan diri.
Setahun sebelum munculnya polemik ini, Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, pernah menulis tentang posisi agama dalam konstitusi negara (UUD dan juga Pancasila). Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 menyatakan, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara pada ayat 2 disebutkan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Di samping itu, terdapat sejumlah undang-undang (UU) yang dibuat untuk memfasilitasi pengamalan agama di Indonesia. Mulai dari UU Perkawinan, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, UU Pengelolaan Keuangan Haji, UU Jaminan Produk Halal, UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Wakaf, UU Pesantren, sampai UU Peradilan Agama, dan lainnya.
Agama dan negara berelasi sangat fundamental, mesra, dan produktif. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam hal hubungan agama dengan negara Indonesia layak menjadi model negara lain. Sebagai negara beragama non-teokrasi, umat beragama di Indonesia harus memahami posisi dan potensi peran agama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Apalagi terdapat berbagai agama yang menurut konstitusi memiliki hak dan kewajiban yang sama.
“Namun demikian, negara hanya dapat memfasilitasi umat beragama dalam menjalankan agamanya. Negara tidak dapat memaksakan sebuah ajaran agama untuk dilaksanakan. Negara pun tidak dapat menjadi pemutus mutlak terhadap perbedaan menyangkut implementasi agama di ruang-ruang publik,” jelas Kamaruddin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya penyeragaman dalam bentuk apapun, hakikatnya bertentangan