Jakarta — Sebuah momen penting dalam perjuangan melawan radikalisme terjadi di Riau, Jumat (27/6/2025). Sebanyak 34 mantan anggota dan simpatisan kelompok teroris Ansor Daulah menyatakan melepas baiat terhadap ISIS dan meneguhkan kembali kesetiaan mereka pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Zora A. Sukabdi, psikolog forensik dari Universitas Indonesia yang sudah bertahun-tahun meneliti ekstremisme kekerasan, pertobatan para eks napiter ini bukan sandiwara. Ia menegaskan bahwa teroris bisa berubah, meskipun jalan menuju perubahan itu panjang, penuh tantangan, dan tak selalu linier.
“Mereka betul-betul bertobat. Tapi, tetap ada dinamika dalam jaringan mereka. Biasanya, muncul ketegangan antara generasi senior yang mulai moderat dan generasi muda yang masih keras,” jelas Zora, Minggu (13/7/2025), dikutip dari laman viva.co.id.
Pertobatan Bukan Sekejap, Tapi Perjalanan Bertahap
Zora menjelaskan, proses insaf dari paham radikal tidak memiliki durasi pasti. Beberapa bisa berubah dalam tiga tahun, sebagian lain memerlukan puluhan tahun. Semuanya sangat tergantung pada pengalaman pribadi, tekanan sosial, dan dukungan lingkungan.
“Inilah sebabnya mengapa deradikalisasi harus dilakukan secara menyeluruh, tak hanya pada aspek keagamaan, tapi juga pada ekonomi, pendidikan, hingga relasi sosial,” paparnya.
Ia menilai bahwa waktu minimal lima tahun dibutuhkan untuk membentuk perubahan yang stabil dan terukur. Meski mengapresiasi upaya Densus 88 dan BNPT dalam membina dan mendokumentasikan narapidana terorisme, Zora mengingatkan bahwa tanpa pendampingan lanjutan, eks pelaku berisiko kembali ke lingkaran lama.
“Sebagus apa pun programnya, jika tidak disertai niat dari dalam diri dan tidak dipantau secara konsisten, potensi untuk relapse tetap tinggi,” katanya.
Ia juga menekankan pentingnya komitmen negara, bahkan saat pemerintah tengah menghadapi tekanan efisiensi anggaran.
“Mereka tetap warga kita. Kita tidak bisa lepas tangan begitu saja setelah mereka keluar dari penjara. Proses pemulihan ini tidak bisa diburu-buru,” tambah Zora.
Deklarasi pelepasan baiat di Riau ini menyusul langkah mengejutkan Jamaah Islamiyah (JI) yang pada Juni 2024 secara resmi membubarkan diri dan kembali ke pangkuan NKRI. Pembubaran itu diumumkan dalam pernyataan kolektif para pemimpin pondok pesantren dan tokoh senior JI di Bogor.
Dua peristiwa ini memberi sinyal bahwa gelombang perubahan dalam tubuh jaringan radikal memang mungkin terjadi — tetapi, seperti diingatkan para ahli, perubahan ideologis tidak pernah instan.
Kisah pertobatan para eks anggota kelompok radikal bukan hanya soal keluar dari jaringan, tetapi juga membangun ulang identitas, relasi sosial, dan makna hidup. Negara, masyarakat, dan semua elemen harus hadir sebagai bagian dari proses pemulihan itu.
“Ini bukan sekadar soal deradikalisasi, tapi soal rekonsiliasi sosial. Kita tidak hanya ingin mereka berhenti membenci, tapi juga mulai merasa dimiliki,” tutup Zora.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah