Peran guru dalam Islam selalu lebih besar daripada sekadar profesi. Ia adalah penjaga peradaban, pembawa cahaya ilmu, sekaligus penuntun akhlak. Dalam khazanah Islam, seorang guru tidak pernah dipandang sebagai pengajar teknis, tetapi sebagai pewaris kerja para nabi.
Di momen peringatan Hari Guru Nasional, kita seakan diajak menengok kembali betapa mulianya tugas itu dan betapa rapuh posisi guru bila masyarakat lupa menegakkan kemuliaan tersebut.
Dalam Islam, kedudukan guru berkelindan erat dengan urgensi ilmu itu sendiri. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu beberapa tingkat di atas yang lain (QS. al-Mujadalah: 11). Ayat ini bukan sekadar penghormatan, tetapi penanda status peradaban: masyarakat hanya akan tumbuh apabila orang-orang yang mendidik mendapatkan kemuliaan sosial.
Nabi juga menyatakan bahwa para ulama—guru berada dalam keluarga besar ini—adalah pewaris para nabi. Pewarisan ini bukan bersifat biologis, tetapi epistemologis: nabi membawa wahyu, para guru menjaga keberlanjutan makna.
Di tangan guru, ilmu tidak sekadar disampaikan, tetapi dibentuk menjadi etos. Imam al-Ghazali menggambarkan guru sebagai dokter jiwa; ia tak hanya memberi pengetahuan, tetapi memurnikan hati dari penyakit-penyakitnya.
Karena itu, posisi guru bukan sekadar pengisi ruang kelas; dialah arsitek moral dan spiritual masyarakat. Kejatuhan satu generasi sering bermula dari rusaknya penghormatan pada guru.
Peringatan Hari Guru Nasional di Indonesia menawarkan ruang refleksi yang menarik. Di satu sisi, negara memberi penghormatan simbolik kepada guru; di sisi lain, realitas menunjukkan bahwa posisi mereka justru sering berada dalam tekanan: administrasi menumpuk, kesejahteraan tidak merata, kekerasan terhadap guru meningkat, dan otoritas moral mereka merapuh oleh arus budaya populer.
Islam sejak lama telah mengingatkan: bila guru tidak dimuliakan, ilmu tidak akan menjadi cahaya, melainkan sekadar informasi yang tidak menumbuhkan kebijaksanaan.
Refleksi menjadi makin penting ketika melihat dinamika pendidikan hari ini. Kasus perundungan yang melibatkan pelajar di berbagai daerah menunjukkan bahwa pendidikan kita tidak hanya mengalami krisis pengetahuan, tetapi juga krisis keteladanan.
Guru yang semestinya diberi ruang untuk mengokohkan akhlak justru sering dibatasi oleh kekhawatiran sosial, aturan yang kaku, atau lemahnya dukungan institusi. Padahal Nabi sendiri mempraktikkan pendidikan berbasis keteladanan, dialog, dan pendampingan—suatu model pendidikan yang mustahil berjalan tanpa penghormatan kepada sang pendidik.
Hari Guru Nasional selayaknya menjadi pengingat bahwa tugas guru dalam Islam bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi membangun manusia. Karena itu, masyarakat berkewajiban memuliakan guru; pemerintah wajib menjamin kesejahteraannya; sekolah harus menguatkan otoritasnya; orang tua harus menjadikannya mitra; dan murid wajib menghormatinya sebagai bagian dari ibadah. Ketika guru dihormati, pendidikan akan kembali menjadi proses pembentukan manusia seutuhnya, bukan sekadar pencetak tenaga kerja.
Pada akhirnya, refleksi keislaman ini menunjukkan bahwa memuliakan guru sama dengan memuliakan ilmu. Dan memuliakan ilmu berarti memuliakan masa depan. Dari tangan merekalah lahir generasi dengan keberanian moral, kejernihan intelektual, dan kelapangan hati—sebuah fondasi yang dibutuhkan bangsa untuk tetap berdiri tegak di tengah perubahan dunia yang makin tidak pasti.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah