komunikasi dalam islam
komunikasi dalam Islam

Akhlak Komunikasi dalam Islam Cegah Polarisasi di Tahun Politik

Dinamika perpolitikan kita mengalami krisis keadaban, bahkan krisis kemanusiaan. Tahun 2019 lalu, Pemilu kita diwarnai oleh sederetan peristiwa prilaku tak berbudaya layaknya karakter rakyat Indonesia dulu yang santun, menghargai perbedaan pendapat dan pandangan, serta kentalnya sikap toleransi dan harmonis tanpa melihat perbedaan agama, suku, ras maupun kelompok.

Belakang ini, seperti di Pemilu 2019 lalu, ada yang mencoba merubah budaya politik santun rakyat Indonesia. Dinamika perpolitikan kita kerap diwarnai polemik, konflik dan perdebatan yang mengabaikan etika berkomunikasi yang diwariskan oleh leluhur bangsa Indonesia.

Di tataran akar rumput maupun di tataran elit selalu ada kegaduhan dan keriuhan, seperti maraknya berita hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam bahkan politisasi agama. Akibatnya adalah perpecahan, konflik dan rusuh antar anak bangsa yang berpotensi retaknya persatuan dan kesatuan bangsa.

Islam, agama paripurna dan dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia mengajarkan etika berkomunikasi yang baik. Mengutamakan sikap saling menghargai, persahabatan dan persaudaraan. Sekalipun berbeda pandangan, seperti perbedaan pilihan politik, tidak boleh melazimkan suatu perilaku yang mengenyampingkan sikap saling menghargai dan seterusnya.

Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Al Hujurat: 11).

Merendahkan, mencela dan meremehkan seseorang atau kelompok lain suatu sikap yang dilarang dalam Islam, sebagaimana bunyi ayat di atas. Sebab sikap demikian akan menimbulkan mafsadat besar bagi masyarakat, terutama bagi bangsa. Permusuhan dan pertikaian sesama anak bangsa tidak mustahil akan terjadi.

Karenanya, Islam melarang hal itu demi kebaikan manusia sendiri. Dengan kata lain, etika berkomunikasi dalam politik harus memperhatikan hal-hal yang telah digariskan oleh ayat di atas; tidak menghina, mencela dan merendahkan orang atau kelompok lain.

Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, perintah ayat di atas telah menjadi budaya politik kita, yaitu budaya politik yang berlandas pada Pancasila. Dengan kata lain, budaya politik kita adalah Pancasila, budaya yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, budaya saling menghargai, saling tolong menolong, saling menghargai perbedaan dan budaya mendahulukan kepentingan bangsa dari kepentingan pribadi dan kelompok.

Budaya demokrasi kita mengandung pandangan dasar bahwa pola hubungan antar sesama anak bangsa adalah persahabatan, kerukunan dan perdamaian. Saling mencela, mencemooh dan saling merendahkan bukan budaya bangsa ini.

Alhasil, nilai-nilai etika berkomunikasi yang diajarkan oleh Islam sebagaimana ayat di atas telah terkoneksi secara baik dengan ideologi Pancasila sebagai pedoman berbangsa masyarakat Indonesia. Tapi kenapa mengalami perubahan akhir-akhir ini? Tentu ada sebab yang melatarbelakangi.

Secara fundamental penyebabnya antara lain adalah hasrat dan libido ingin berkuasa, apapun caranya. Faktor lain adalah kemunculan kelompok radikal di Indonesia yang selalu berharap terjadi konflik horizontal di negara ini. Kemudian, laiknya fakta-fakta di belahan negara Islam Timur Tengah kelompok ini akan mengambil alih kekuasaan. Demi ambisi berkuasa mereka tak peduli sekalipun negara hancur.

Isu-isu seperti Indonesia negara thagut dan sejenisnya menjadi gambaran nyata adanya kelompok yang menginginkan kehancuran negara ini. Islam, dan simbol-simbol Islam yang dipakai tidak lain hanya kedok belaka. Sebab agama Islam mengajarkan etika berkomunikasi dalam politik dengan mengedepankan kesantunan, musyawarah untuk mufakat dan pola hubungan antar sesama anak bangsa dibangun atas prinsip persahabatan.

Caci maki, saling ejek dan saling merendahkan bukan akhlak yang diajarkan oleh Islam sebagaimana termaktub dalam ayat di atas. Oleh karenanya, etika berkomunikasi ini harus tertanam kuat dalam pribadi muslim supaya tidak rentan terserang penyakit politik yang menghalalkan segala cara, sekalipun cara-cara itu tidak sesuai dengan ajaran Islam dan budaya politik Pancasila.

Bagikan Artikel ini:

About Nurfati Maulida

Check Also

Imam Syafii

Benarkah Imam Syafi’i Anti Tasawuf?

Beredar di media sosial ceramah Salim Yahya Qibas yang dengan entengnya ia menyebut Imam Syafi’i …

sirah sahabat

Ketika Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit Berbeda Pendapat

Menjelang Natal dan Tahun Baru, perdebatan biasanya mengemuka sekalipun dalam ranah ijtihadi yang memang cenderung …