Pemberian bantuan oleh calon anggota legislatif pada setiap menjelang pemilihan legislatif cukup marak dilakukan. Dalam pemberian bantuan caleg cenderung mengarah kepada praktik risywah, dikarenakan ada unsur niat dan tujuan memenangkan calon legislatif yang bersangkutan. Atas dasar itu, bagaimana bentuk-bentuk pemberian bantuan yang dilakukan oleh caleg pada masa pemilihan umum, dan bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pemberian bantuan caleg tersebut.
Bentuk-bentuk pemberian bantuan oleh calon anggota legislatif dalam beberapa kategori seperti sembaku, pakaian, dan uang. Dalam tinjauan hukum pidana Islam, perbuatan pemberian atau penerimaan bantuan calon legislatif yang tujuannya agar calon tersebut menang pada saat pemilihan merupakan perbuatan yang dilarang.
Politik uang atau pemberian bantuan atau risywah termasuk ke dalam tindak pidana ta’zir, yaitu perbuatan pidana yang jenis dan kadar sanksinya tidak disebutkan dalam Alquran dan hadis, namun diserahkan kepada pemerintah sesuatu kemaslahatan. Terhadap temuan tersebut, calon anggota legislatif perlu mengubah cara pandang bahwa bentuk bantuan sosial atau politik uang sebagai cara dan strategi yang tidak baik, dan melanggar ketentuan undang-undang, dan perbuatan yang di larang di dalam Islam.
Pengertian Pemberian
Kata beri membentuk beberapa istilah di antaranya memberi, memberikan, diberi, diberikan, pemberi dan pemberian. Pemaknaan pemberian mencakup makna umum, apapun yang diberikan pada orang lain baik di dalam bentuk benda, maupun bukan benda seperti pemberian satu gelar kehormatan tercakup dalam makna pemberian.
Keumuman makna pemberian ini juga mencakup bermacam bentuk harta, sedekah juga dimaknai pemberian, zakat juga dimaknai sebagai pemberian dan beberapa bentuk yang lainnya, seperti nafkah, wasiat, hibah, sogok dan suap, gratifikasi, dan bentuk pemberian lainnya. Keumuman makna pemberian di atas sebetulnya juga berlaku untuk kata give atau gift (Inggris), geschenk (Belanda), dan atha’ (Arab). Semua istilah-istilah tersebut memiliki makna yang umum, mencakup di dalamnya definisi zakat, wakaf, hibah, nafkah dan yang lainnya.
Konsep Risywah
Istilah risywah, dalam makna bahasa dapat diartikan sebagai suap yang berarti uang sogok.19 Suap-menyuap dalam kata bahasa Arab disebut risywah, asalnya diambil dari kata rasya. Menurut makna bahasa berarti seutas tali atau tali ember ataupun yang semacamnya. 20 Dalam catatan Fuad Thohari, risywah secara lughawi bermakna ja’lu artinya hadiah, upah, komisi dan suap.
Dalam pengertian yang lain, risywah berarti sesuatu yang dapat menghantarkan tujuan dengan segala cara agar tujuan tersebut dapat tercapat. Pengertian ini menurut Rafi’ diambil dari kata rasya yang bermakna tali timba yang digunakan untuk tali timba di sumur, tujuannya agar air itu dapat diambil dan dimanfaatkan.
Dasar Hukum Larangan Risywah
Tindakan risywah atau suap-menyuap di dalam perspektif hukum Islam termasuk ke dalam perbuatan yang dilarang. Tindakan ini bisa saja merugikan pihak lain secara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Suap-menyuap atau risywah, bagaimana pun model dan bentuknya tetap dilarang dalam Islam. Terdapat beberapa dalil hukum menegaskan bahwa suap-menyuap dilarang di dalam Islam.
Untuk mengetahui dalil-dalil tentang suap secara lengkap dapat merujuk langsung dalam keputusan Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia yang berlangsung pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421 H/25-29 Juli 2000 M yang membahas mengenai Suap (Risywah) Korupsi (Ghulūl) dan Hadiah kepada Pejabat. Dalam keputusan ini, minimal terdapat tiga ayat Alquran yang dikutip yaitu QS. al-Baqarah [2] ayat 188, QS. al-Nisa’ [29], dan QS. Ali Imran [3] ayat 161.
Adapun bunyi firman Allah Swt QS. Al-Baqarah [2] ayat 188: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”. Ayat di atas secara khusus berbicara tentang larangan risywah. Larangan memakan harta orang lain, dan juga larangan menyuap adalah bagian dari makan harta orang lain secara batil.
Menurut Imam Al-Qurthubi, ayat di atas diturunkan Allah tentang Abdan bin Asywa Hadhrami yang mengklaim harta milik Imri’il Qais al-Kindi (sebagai hartanya). Merekakemudian berperkara kepada Nabi Saw, lalu Imri’il Qais mengingkari klaim tersebut dan dia akan melakukan sumpah. Terhadap peristiwa tersebut, maka Allah Sat menurunkan QS. al-Baqarah [2] ayat 188, yang intinya melarang memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Kemudian larangan menyuap dengan harta itu kepada para hakim.
Adapun hukum yang dimuat pada ayat di atas, khususnya arti memakan harta secara batil adalah pesan kepada semua ummat Muhammad Saw untuk tidak melaksanakan apapun dan memakan harta dengan cara yang tidak benar, termasuk ke dalamnya seperti perjudian, penipuan, perampasan, pengingkaran hak, cara-cara yang tidak disukai pemiliknya, atau sesuatu yang diharamkan oleh syariat meskipun disukai oleh pemiliknya, misalnya uang hasil pelacuran, maskawin perdukunan, dan uang hasil menjual khamer, babi dan lainnya.
Pemberian yang Mengarah Kepada Risywah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa tidak semua pemberian itu dikatakan risywah, sementara risywah bisa dikatakan sebagai salah satu jenis pemberian yang bersifat khusus. Kekhususan risywah sebagai suatu pemberian di dalam hukum Islam hanya dalam konteks ketika pemberian itu diberikan kepada hakim, atau siapa saja yang memiliki wewenang di dalam menetapkan keputusan sehingga dengan adanya pemberian itu diharapkan dapat memberi keuntungan si pemberi risywah.
Membatasi makna pemberian yang mengarah kepada risywah hanya pada konteks pemberian kepada hakim atau pejabat sangat pentong, karena pemberian tdalam makna risywah selalu diarahkan kepada upaya mempengaruhi keputusan atau kebijakan hukum. Jika pemberian tersebut diberikan kepada hakim, maka motivasinya ialah agar hakim memutuskan suatu perkara sesuaidengan apa yang dikehendaki dan diinginnya. Jika pemberikan itu diberikan kepada pejabat yang bertugas membuat kebijakan, maka motivasinya adalah agar pejabat itu membuat kebijakan yang dapat menguntungkannya.
Wildan Suyuti mengemukakan bahwa suap menyuap berlaku dalam konteks mengadili sebuah perkara. Atas dasar itu, pemberian yang dianggap sebagai risywah adalah pada konteks pemberian kepada hakim yang tujuannya agar perkara yang diadili dapat dimenangkan oleh pemberi suap.
Pemberian dalam bentuk hadiah yang ditujukan ke orang-orang yang tidak memiliki pengaruh dalam mengambil keputusan dan pembuat kebijakan tidak lah termasuk ke dalam makna risywah misalnya pemberian kepada teman, pemberian kepada kedua orang tua, sahabat, atau anggota keluarga, atau kepada orang lain yang sama sekali bukan pejabat pemerintah. Sementara itu, jika bentuk pemberian itu mengarah kepada tujuan agar yang diberi menetapkan suatu yang menyalahi kewenangan dan tugasnya, maka hal ini masuk ke dalam risywah. Hal ini selaras dengan beberapa definisi risywah di atas, yaitu sebagai suatu tindakan seseorang yang memberi pada hakim atau orang yang mempunyai wewenang memutuskan suatu masalah agar supaya orang yang memberikan pemberian tersebut mendapat kepastian hukum atau mendapat keinginannya.
Memerhatikan uraian di atas, dapat dipahami bahwa suatu pemberian bisa dikatakan sebagai risywah ketika ditujukan agar seseorang yang memiliki jabatan tugas tertentu bisa memutuskan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Seseorang yang memiliki jabatan di sini cukup luas cakupannya, bisa saja dimaknai sebagai seorang hakim agar ia memutuskan perkara sesuai keinginan penyuap, atau dapat juga berbentuk pejabat negara atau lembaga yang membuat kebijakan yang dapat menguntungkan pemberi suap, termasuk dalam konteks ini adalah penyelenggara Pemilu (Pemilihan Umum).
Bentuk Kejahatan dalam Pemilu
Setelah dikeluarkannya undang-undang pemilu, yaitu tahun 1999 melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, hingga yang terbaru di tahun 2017 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, maka tindak pidana yang sebelumnya diatur di dalam KUHP sudah diakomodir di dalam Undang-Undang Pemilu. Dalam catatan Afifah, telah mengidentifikasi sekurang-kurangnya ada 4 karakteristik tindak pidana pemilu:
Pertama, Politik transaksional atau lebih dikenal dengan jual beli suara, dimana partai politik atau kandidat membeli suara pemilih dengan menggunakan uang, barang, jasa, jabatan ataupun keuntungan finansial lainnya. Pemilih ataupun sekumpulan pemilih menjual suaranya ke kandidat. Termasuk ke dalam jenis ini adalah penyuapan, politik uang dan tipu muslihat.
Kedua, Membeli kursi (candidacy buying), dimana orang atau kelompok orang kepentingan mencoba untuk membeli nominasi agar dicalonkan.
Ketiga, Manipulasi dalam tahapan dan proses pemilu atau electoral administrative corruption.
Keempat, Dana kampanye yang mengikat/abusive donation menjadikan sumbangan kepada partai ataupun kandidat sebagai investasi politik.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah