Jakarta – Mantan Amir Jamaah Islamiyah (JI), Para Wijayanto, kini menjelma menjadi pionir dalam upaya deradikalisasi narapidana terorisme di Indonesia. Lewat program Rumah Wasathiyah, ia mengajak para mantan militan memahami Islam dari perspektif moderat—langsung dari sumber yang mereka yakini sahih.
Program ini bukan penyuluhan biasa. Dengan pendekatan berbasis literatur klasik Islam, Para secara sistematis membongkar narasi-narasi ekstrem dari dalam, menggunakan rujukan otoritatif yang familier di kalangan napiter seperti karya-karya Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, hingga Ibnu Katsir.
“Kenapa pakai kitab lama? Karena itu yang mereka hormati. Kita harus masuk lewat pintu yang mereka kenal,” ujar Para, dikutip dari Antaranews, Jumat (1/8/2025). Ia menegaskan, pendekatan Wasathiyah—atau jalan tengah Islam—bukan ajaran baru, melainkan warisan otentik dari khazanah keilmuan Islam.
Dalil-dalil yang digunakan ditampilkan dalam teks Arab asli, untuk menunjukkan bahwa ajakan kembali ke jalan tengah justru lahir dari akar tradisi Islam, bukan pemikiran modern semata. “Perubahan ideologi harus berdasarkan ilmu, bukan tekanan. Islam itu agama pertengahan—bukan yang melampaui batas, tapi juga bukan yang lalai,” tegasnya.
Program Rumah Wasathiyah digelar bergilir di empat Lapas Nusakambangan: Besi, Gladakan, Ngaseman, dan Permisan. Menurut Para, inisiatif ini merupakan kelanjutan dari proses transformasi ideologis pasca pembubaran JI, sekaligus bentuk terapi pemikiran bagi mantan pelaku.
“Banyak dari mereka yang akhirnya menangis. Bukan karena merasa tertekan, tapi karena merasa dibohongi masa lalu. Mereka bilang, ‘Andai dulu ada penjelasan seperti ini, kami mungkin tidak akan sampai di penjara,’” ungkapnya.
Transformasi ini bukan langkah dadakan. Para merumuskannya dalam 42 poin pertimbangan syar’i yang mendasari perubahan sikap JI terhadap negara. Gagasan ini ia tuangkan dalam buku JI: The Untold Story, di mana ia menjelaskan bagaimana NKRI dapat diterima dalam kerangka siyasah syar’iyyah—politik yang sejalan dengan syariat karena membawa maslahat.
“Dalam kitab siyasah dijelaskan, segala sesuatu yang membawa kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan syariat adalah sah. Dan NKRI adalah bentuk maslahat besar,” jelasnya.
Awalnya menyasar eks anggota JI (sekitar 70%) dan masyarakat umum (30%), ke depan, Rumah Wasathiyah akan diperluas menyasar kalangan remaja dan pelajar. “Kami ingin membangun imunisasi ideologis sejak dini. Kalau sudah terpapar, lebih sulit disembuhkan. Maka pencegahan harus diutamakan,” kata Para.
Program ini mendapat dukungan penuh dari otoritas pemasyarakatan. Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan Provinsi Jawa Tengah, Mardi Santoso, menilai pendekatan ini menyentuh langsung ke akar persoalan.
“Figur seperti Ustaz Para punya kekuatan simbolik. Ia bicara dari pengalaman dan pertobatan, bukan sekadar teori. Pendekatannya jauh lebih mengena daripada pendekatan struktural semata,” ujarnya.