darul harb
darul harb

Benarkah Indonesia Termasuk Dar Harbi ?

Tulisan ini khusus menanggapi tulisan dari sdri. Najmah Saiidah dalam tulisan berjudul “Dar Harbi dan Dar Islam, Indonesia termasuk yang Mana?” di laman web muslimahnews[dot]net pada 13 Maret 2023. Tulisan Najmah Saiidah secara khusus dialamatkan untuk menanggapi tulisan saya, Faizatul Ummah, di laman web islamkaffah[dot]id berjudul “Meluruskan Kesalahan Pemaknaan Konsep Darul Islam dan Darul Harbi”.

Najmah mengutip pendapat Dr. Muhammad Khair Haekal dalam bukunya Jihad dan Perang dalam Islam, bahwa Dar al Islam dan Dar al Kufr merupakan istilah syar’i yang diapakai untuk menunjukkan realitas tertentu.

Pernyataan ini benar, alias tidak salah serta telah menjadi pengetahuan umum. Tanpa mengutip surat Khalid bin Walid yang termaktub dalam kitab al Kharaj pun sudah cukup jelas. Dua istilah itu telah sangat familiar sebagai istilah syar’i.

Begitu pula kutipan pendapat yang bersumber dari beberapa ulama tentang Dar al Kufr, semua itu merupakan pendapat dari sekelompok ulama sebagai hasil dari ijtihad mereka. Karena merupakan ijtihad, maka tentu ada pendapat lain yang berbeda.

Namun, sayang, Najmah tidak menjelaskan lebih lanjut tentang perbedaan Dar al Islam dan Daulah Islamiyyah serta konsekuensi dari perbedaan makna keduanya. Mungkin, ia sepakat dengan perbedaan dua istilah tersebut sebagaimana telah saya tulis. Sebab, tanpa memahami perbedaan dua istilah tersebut akan keliru menjawab pertanyaan: “Salahkah Jika Mengatakan Indonesia adalah Darul Harbi”?

Pertanyaan ini merupakan sub tema tulisan Najmah. Fokus saya sekarang ingin mendiskusikan lebih dalam tentang hal itu. Kesimpulan Najmah berdasarkan pendapat para ulama yang dijelaskan cukup panjang memang benar, layak memberikan cap Indonesia bukan “Negara Islam”.

Dar Harbi dan Dar Islam sebagai Produk Ijtihad

Tapi tunggu dulu, pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh Najmah memang pendapat dan referensi yang dipakai kelompok radikal seperti pengasong khilafah untuk memperkuat “asumsi” wajibnya menegakkan negara khilafah.

Sementara pendapat-pendapat yang dikemukakan dalam tulisan saya adalah pendapat berbeda yang dalam konteks negara bangsa lebih tepat. Apalagi dalam konteks keindonesiaan yang plural.

Mengatakan: “Sesungguhnya, setiap daerah yang penduduknya mampu mempertahankan diri dari musuh-musuhnya dapat disebut sebagai Darul Islam” seperti dikatakan Syaikh Sulaiman bin Umar dalam kitabnya Hasyiyah al Jumal, lebih rajih dalam konteks Indonesia hari ini.

Sebagai tambahan, Muktamar Nahdlatul Ulama ke-XI di Banjarmasin, tanggal 19 Rabi’ul Awal 1355 H/9 Juni 1936, memutuskan bahwa Indonesia adalah Darul Islam. Keputusan ini merujuk pada sumber-sumber sebagaimana telah saya tulis.

Perbedaan pendapat para ulama tentang definisi Darul Islam maupun Darul Harbi disebabkan karena ketiadaan teks agama yang secara tersurat (sharih) yang menunjuk pada suatu sistem pemerintahan tertentu. Tegas kata, baik dalam al Qur’an maupun hadits tidak ditemukan suatu sistem pemerintahan paling ideal. Karenanya, pemaknaan tentang Darul Islam dan Darul Harbi adalah hasil ijtihad.

Imam Abu Hanifah mengatakan, Darul Islam adalah suatu wilayah di mana muslim dan non muslim bebas menjalankan aktifitas keagamaan masing-masing. Adapun Darul Harbi adalah suatu wilayah yang tidak aman dan umat Islam tidak diberi kebebasan untuk melakukan aktifitas keagamaan.

Berdasar pada pendapat Imam Abu Hanifah ini, Indonesia bisa dikatakan sebagai Darul Islam sebab muslim dan non muslim di Indonesia bebas menjalankan segala aktifitas keagamaan mereka masing-masing. Di samping itu, pendapat Imam Abu Hanifah ini semakin menguatkan keduanya sebagai hasi ijtihad.

Perbedaan adalah kewajaran dan keniscayaan. Yang lebih tepat bukan menempatkan perbedaan pendapat pada sudut konfrontasi, namun memilih yang lebih sesuai dan lebih maslahah untuk zaman kekinian dan tidak memaksakan suatu pendapat yang cocok pada konteks zaman dulu untuk dipakai hari ini.

Lagi pula, seperti dikatakan oleh Syaikh Wahbah al Zuhaili dalam Atsar al Harb fi al Fiqh al Islami, dikotomi wilayah ke dalam Darul Islam dan Darul Harbi tujuannya supaya fuqaha (ahli fikih) lebih mudah menjelaskan hukum bagi umat Islam yang tinggal di daerah mayoritas muslim dan yang tinggal di daerah muslim minoritas serta untuk mempermudah menjelaskan hukum bagi umat Islam yang tinggal di wilayah yang aman dan muslim yang tinggal di wilayah konflik. Masing-masing dari dua wilayah tersebut berlaku hukum yang berbeda.

Jadi, istilah Darul Islam dan Darul Harbi tidak berkonotasi pada sistem pemerintahan. Tegas kata, sekalipun suatu negara disebut Darul Harbi bukan berarti harus merubah sistem pemerintahan yang berlaku, misalnya diganti sistem khilafah atau sistem pemerintahan yang lain. Semata hanya penerapan hukum fikihnya yang berbeda. Berdasar pendapat Imam Abu Hanifah di atas, maka memaksakan berdirinya negara khilafah di Indonesia dengan tuduhan bukan negara Islam merupakan suatu kesalahan.

Kriteria Penerapan Syariat Islam Harus Khilafah?

Maka, andaikan kita mengikuti pendapat para ulama yang dikemukakan oleh Najmah, pertanyaan berikutnya: “Sekalipun Indonesia bukan negara Islam, apakah bermakna tidak sah menurut Islam”?.

Ini yang seringkali terlepas dan alpa dari pemahaman kelompok pendukung khilafah. Sekalipun, seandainya, negara Indonesia dikatakan Darul Harbi tetap saja sah menurut Islam, sebab nilai-nilai ajaran Islam terinternalisasi dalam Undang-undang Dasar 45 dan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Oleh karena itu, mengatakan Indonesia negara thagut karena masuk dalam kriteria Darul Harbi atau Darul Kufr bila mengikuti alur pendapat yang disampaikan Najmah tentu bukan pemahaman Islam yang kaffah, melainkan reduksi makna dari ajaran Islam yang universal.

Contoh reduksi makna ajaran Islam adalah perkataan Ibnu Hazm seperti dikutip Najmah berikut.

Ibnu Hazm mengatakan, “Semua tempat selain negeri Rasulullah saw. adalah tempat yang boleh diperangi; disebut dâr al-harb, serta tempat untuk berjihad.”

Perlu diketahui, Ibnu Hazm murid Ibnu Taimiyah itu memang rujukan utama kelompok radikal seperti HTI dan kelompok pengasong khilafah, bahkan kelompok radikal menggunakan pernyataan sebagai pembenaran. Padahal, apa yang disampaikan oleh Ibnu Hazm sendiri banyak menyimpang dari tuntunan Rasulullah. Satu bukti adalah pernyataannya di atas yang dikutip Najmah. Apakah ada sabda Nabi yang mengatakan demikian? Jawabannya: “Tidak Ada”.

Karena ayat-ayat tentang perang hanya bisa dipraktekkan ketika terjadi perang, demikian juga hadits Nabi. Menggunakan ayat-ayat perang dalam situasi damai adalah kesalahan. Ayatnya benar, tapi peruntukannya salah. Ini yang disebut Sayyidina “keberagamaan model anjing gila”.

Maka, ada yang ingin saya tanyakan dari pernyataan Najmah berikut.

“Indonesia, sekalipun penduduknya mayoritas muslim, bahkan dikatakan sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, tetapi negeri ini tidak menerapkan syariat Islam dan tidak bertumpu pada sistem Islam dalam penyelenggaraan negara. Dari fakta ini saja, sesungguhnya sudah menggugurkan posisi Indonesia sebagai dar Islam”.

Apakah yang dimaksud “negeri ini tidak menerapkan syariat Islam” karena tidak menjadikan al Qur’an dan hadits sebagai undang-undang formal negara? Kalau jawabannya ia, kenapa Nabi mengatur Negara Madinah dengan Konstitusi Madinah, bukan dengan al Qur’an? Dan, kalau yang dimaksud syariat Islam adalah nilai-nilai universal ajaran Islam, apakah Pancasila bertentangan dengan ajaran Islam?

Pertanyaan kedua, apakah yang dimaksud “tidak bertumpu pada sistem Islam dalam penyelenggaraan negara” adalah karena Indonesia memakai sistem demokrasi, bukan khilafah? Kalau jawaban karena Indonesia tidak memakai sistem khilafah, pertanyaan yang perlu dijawab, “apakah ada dalam al Qur’an maupun hadits yang secara tegas (sharih) mengatakan khilafah adalah sistem pemerintahan yang ditunjuk oleh Islam?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas telah tersirat dari pertanyaan lain setelahnya. Maka, sebagai konsekuensi menyuguhkan pendapat dari para ulama yang dipilih, Najmah seharusnya menjelaskan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan porsi berbeda sebagai argumentasi pendukung. Termasuk menjelaskan konsepsi negara Islam dalam al Qur’an dan hadits. Bukankah ingin “al ruju’ ila al Qur’an wa as sunnah”?

Kesalahan Pandangan Dar Harbi dan Justifikasi Medan Teror

Namun, yang ingin saya tegaskan di sini adalah kehati-hatian dalam berbicara persoalan ijtihadiyah termasuk dalam kategori darul Islam dan darul harb. Kenapa demikian? Tentu sdr Najmah entah paham atau tidak bahwa mendudukan Indonesia sebagai darul harb sejatinya memiliki kesamaan pandangan dengan kelompok teroris yang menegaskan wilayah Indonesia wilayah perang.

Sebagai wilayah perang, terorisme sah dilakukan dan perang terhadap non muslim sah ditumpahkan di Indonesia. Kesalahan utama kelompok teroris ini berangkat dari cara pandang melihat Indonesia sebagai darul harb sebagaimana Najmah berdasarkan kitab rujukannya melihat hal ini. Cara pandang inilah yang dijadikan justifikasi bagi kelompok teroris yang merasa benar melakukan tindakan kekerasan dan teror di negeri damai ini.

Semoga saja tulisan yang mendalilkan Indonesia sebagai darul harb bukan bermaksud sebagai justifikasi di wilayah ini sah berperang dan merubah sistem yang ada. Namun, yakinlah argument seperti itulah yang digunakan kelompok teroris untuk melancarkan aksinya di negara yang dianggap darul harb. Entah disadari atau tidak, sudah ada irisan penegasan Indonesia sebagai dar harbi dengan kelompok teroris yang menjustifikasi negara ini dengan istilah itu dan absah melakukan serangan teror.

Nampaknya, memang sebagai sebuah produk ijtihad kriteria dar harb dan dar Islam harus banyak dibaca dari berbagai sumber dari ulama salaf hingga khalaf. Jangan pernah terpaku pada satu sumber. Bahkan, perkembangan berikutnya tidak hanya dikotomi dar harbi dan dar Islam, ulama menambahkan kategori dar ahdi karena perkembangan zaman dan wilayah Islam ketika semakin kompleks.

Kedua, memang harus pintar melakukan kontekstualisasi pemikiran dalam konteks yang dinamis. Berpaku pada satu teks di tengah konteks yang terus berubah menyebabkan kegagalan untuk  menerapkan Islam yang rahmatan lil alamin.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

kopi sufi

Kopi dan Spiritualitas Para Sufi

Ulama dan Kopi apakah ada kaitan diantara mereka berdua? Kopi mengandung senyawa kimia bernama “Kafein”. …

doa bulan rajab

Meluruskan Tuduhan Palsu Hadits-hadits Keutamaan Bulan Rajab

Tahun Baru Masehi, 1 Januari 2025, bertepatan dengan tanggal 1 bulan Rajab 1446 H. Momen …