sunnah ekologi

Ekologi Berbasis Sunnah Nabi: Kasih Sayang yang Melampaui Manusia

Dalam perjalanan sejarah manusia, kesadaran ekologis atau cinta terhadap lingkungan kerap dianggap sebagai temuan modern. Bisa jadi benar, ekologi sebagai disiplin baru dan kesadaran baru, tetapi apabila kita kembali membuka lembaran kehidupan Rasulullah Muhammad, kita akan menemukan bahwa etos ekologis telah menjadi bagian dari warisan Islam sejak 14 abad silam. Nabi bukan hanya guru spiritual, tapi juga pionir ekologi yang luhur.

Salah satu kisah penuh makna diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra., bahwa suatu hari Rasulullah dan para sahabat sedang dalam perjalanan. Saat beliau memisahkan diri untuk menunaikan hajat, para sahabat melihat seekor induk burung bersama dua anaknya. Mereka pun mengambil anak-anak burung itu. Sang induk gelisah, terbang tak tentu arah.

Rasulullah kembali, beliau berkata tegas: “Siapa yang menyakiti burung ini dengan mengambil anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya!” (HR. Abu Dawud).

Ini bukan sekadar kisah sentimental, melainkan manifestasi nyata dari visi Islam tentang keseimbangan alam (mīzān)dan hak-hak makhluk hidup. Dalam momen lain di perjalanan yang sama, Nabi melihat sarang semut yang dibakar. Beliau bertanya siapa pelakunya. Setelah diberi tahu, beliau bersabda: “Tidak pantas menyiksa dengan api, kecuali Penguasa api.” (HR. Abu Dawud).

Larangan ini adalah teologi rahmat, yang tidak hanya melindungi manusia dari kezaliman, tapi juga binatang kecil seperti semut dari penderitaan yang tak seharusnya.

Kesalehan ekologis dalam Islam bahkan diuji dalam situasi paling genting—perang. Dalam berbagai riwayat sahih, Rasulullah menegaskan bahwa pasukan Muslim tidak boleh membunuh binatang tanpa sebab, tidak boleh membakar pepohonan, menghancurkan tempat ibadah agama lain, atau mencemari air.

“Jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua, atau pendeta. Jangan menebang pohon, membakar ladang, atau membunuh hewan ternak kecuali untuk dimakan.” (HR. Abu Dawud dan Malik dalam Al-Muwatha’)

Prinsip ini menunjukkan bahwa peradaban Islam lahir bukan dengan kekerasan terhadap bumi, melainkan dengan keseimbangan dan belas kasih terhadap semua makhluk.

Rahmat yang Meluas: Ekologi sebagai Perpanjangan Kasih Sayang

Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ bersabda: “Dalam setiap hati yang basah (makhluk hidup), ada pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, memberi minum seekor hewan pun memiliki nilai spiritual. Sebaliknya, menyiksa hewan, seperti membiarkan unta kehausan, sebagaimana yang pernah membuat Rasulullah murka, merupakan bentuk kekejaman yang bertentangan dengan akhlak Islam.

Kisah wanita pezina yang diampuni karena memberi air kepada anjing yang kehausan (HR. Bukhari dan Muslim) dan kisah wanita ahli ibadah yang masuk neraka karena mengurung kucing tanpa diberi makan (HR. Muslim) menjadi bukti bahwa akhlak terhadap binatang bisa lebih menentukan nasib akhirat seseorang daripada ibadah ritualnya semata.

Di tengah krisis iklim, kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, umat Islam perlu menggali kembali warisan ekologis Nabi. Menanam pohon, melestarikan air, menjaga kelestarian hewan dan hutan bukan hanya kewajiban etis, tapi juga perintah agama.

Rasulullah bersabda: “Jika Kiamat datang sementara di tanganmu ada bibit tanaman, maka tanamlah itu jika kamu masih sempat.” (HR. Ahmad).

Hadis ini memuat optimisme ekologis dan komitmen spiritual untuk menjaga kehidupan, bahkan di ambang akhir dunia. Rasulullah adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘ālamīn), bukan hanya bagi manusia. Maka menjadi pengikut Nabi berarti juga menjadi penjaga bumi, penyayang binatang, dan pelindung lingkungan.

Ketika umat Islam kembali menyadari bahwa memelihara alam adalah ibadah, maka lahirlah generasi spiritual yang menyatu dengan ekosistemnya. Secara sederhana, menjaga alam adalah sunnah yang diajarkan Rasulullah yang patut diteladani oleh umat Islam.

Tidak perlu mencari dalil baru tentang menjaga lingkungan, karena ekologi sejak dulu sudah lahir dari sunnah Nabi.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

BRIN Moderasi Beragama

Moderasi beragama Bukan Sekadar Konsep Akademik, Tapi Jalan Tengah Untuk Beragama secara Damai, Inklusif, dan Berkeadaban

Jakarta — Meningkatnya berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama menunjukkan bahwa paham radikal masih memiliki …

Prof M Suaib Tahir PhD

Jihad Palsu di Balik “Ukhuwah Global”: Umat Diminta Waspada Propaganda ISIS

Jakarta — Kelompok teroris ISIS kembali menyebarkan propaganda bermuatan ajakan jihad ke berbagai negara konflik, …