Dari dua kejadian gejolak anak muda atau yang populer disebut Gen Z di wilayah Arab dan Asia secara umum dapat digambakan sebagai gejolak musim semi politik demokratisasi. Kebencian, kemarahan dan kegelisihan terhadap struktur politik yang tidak memberi ruang kebebasan, kondisi ekonomi yang semakin mencekik dan perilaku elite politik beserta keluarganya yang hedonis membangkitkan perlawanan.
Dari berbagai gerakan anak muda dalam protes politik di berbagai negara, terdapat gerakan yang memiliki pola-pola universal yang mencerminkan karakter DNA mereka sebagai generasi Z. Ada beberapa hal yang menarik untuk dilihat dari pola universal yang terjadi.
Pertama, penggunaan media sosial sebagai alat mobilisasi. Semua gerakan ini memanfaatkan platform digital untuk koordinasi, penyebaran informasi, dan pembentukan narasi alternatif. Platform seperti Telegram, Twitter, Instagram, dan terutama TikTok menjadi ruang publik virtual tempat generasi muda mengorganisir perlawanan.
Kedua, penolakan terhadap nepotisme dan “Nepo Kids”. Generasi Z menunjukkan penolakan yang konsisten terhadap sistem politik yang didominasi oleh elite keluarga atau “nepo babies”. Mereka menuntut merit-based system dan kesetaraan kesempatan.
Dinasti politik yang menggejala di berbagai negara di Asia merupakan musuh utama gerakan ini. Praktek pejabat dan elite politik yang sering “flexing” dan pamer harta tidak berbanding terbalik dengan penderitaan yang dihadapi rakyat bawah.
Ketiga, anti-ototitarianisme dan aspirasi demokratis. Meskipun konteks lokal berbeda, semua gerakan ini menolak otoritarianisme dan menuntut ruang yang lebih besar untuk partisipasi politik, kebebasan sipil, dan akuntabilitas pemerintah.
Keempat, kreativitas dalam bentuk protes. Generasi Z menggunakan simbol-simbol pop culture, meme, seni jalanan, dan performance art sebagai medium perlawanan, menciptakan bentuk-bentuk protes yang kreatif dan menarik perhatian media. Hal ini bisa dilihat dari bendera one pieces yang juga ditemukan baik di Nepal maupun di Indonesia.
Kelima, struktur organisasi yang horizontal tanpa hirarki. Berbeda dengan gerakan politik tradisional yang hierarkis, gerakan Gen Z cenderung adopsi struktur yang lebih horizontal dan desentralisasi, memanfaatkan kekuatan dampak terutama melalui media sosial.
Pembelajaran dari Arab Spring: Bahaya Revolusi Tanpa Rencana
Pengalaman Arab Spring memberikan pelajaran penting tentang kompleksitas proses demokratisasi. Meskipun berhasil menggulingkan rezim-rezim otoriter, sebagian besar negara Arab Spring mengalami transisi dan turbulensi sosial politik yang berkepanjangan. Tunisia, yang dianggap sebagai success story, kini juga menghadapi kemunduran demokratis. Mesir mengalami kontra revolusi yang membawa militer kembali ke kekuasaan. Libya, Suriah, dan Yaman terjebak dalam konflik berkepanjangan.
Kegagalan Arab Spring dalam menciptakan demokratisasi yang sustainable dapat ditelusuri dari beberapa faktor. Absennya institusi demokrasi yang kuat yang diakui dan dipercaya oleh masyarakat. Ketika mesin politik demokrasi runtuh, kekacauan terjadi dan kecurigaan sosial tidak bisa dihindari.
Hal yang tidak bisa dipungkiri adalah proses politik yang tidak inklusif. Pertikaian pasca revolusi antar beberapa aliansi tidak mampu dikendalikan secara baik. Hal ini menyebabkan kondisi ekonomi yang tidak stabil, intervensi asing yang cukup rentan hingga ketidaksepakatan antar elite yang sama-sama mempunyai kepentingan.
Pada intinya, ketiadaan roadmap yang jelas pasca revolusi menjadikan gejolak Arab Spring hanya seperti euforia awal tanpa kendali. Pemerintahan transisi juga gagal dalam mengendalikan situasi sehingga tidak mempunyai legitimasi yang kuat dalam mengelola pemerintahan.
Solusi Strategis: Mengelola Gerakan Gen Z untuk Perubahan yang Konstruktif
Berdasarkan pembelajaran dari Arab Spring dan karakteristik unik gerakan Asia Spring, beberapa strategi dapat dikembangkan untuk mengelola gerakan Gen Z agar menghasilkan perubahan yang konstruktif:
- Membangun Saluran Institusi Anak Muda yang Inklusif
Pemerintah dan civil society perlu menciptakan saluran institusional yang memungkinkan aspirasi generasi muda disalurkan secara konstruktif. Ini termasuk pembentukan youth parliaments, citizen assemblies, dan mekanisme poling yang memberikan ruang bagi partisipasi politik anak muda lebih bermakna.
Generasi muda bukan sekedar dijadikan budak electoral, tetapi diajak sejak awal untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan dengan cara mendidik mereka dalam saluran politik yang baik.
- Pendikan Politik (Civic Literacy) yang Baik
Sistem pendidikan harus direformasi untuk mengintegrasikan civic education yang komprehensif, mengajarkan tidak hanya hak-hak demokratis tetapi juga kewajiban dan kompleksitas dari pemerintahan demokratis. Program ini harus mencakup literasi politik, media literasi, dan resolusi konflik.
Tidak hanya ruang pendidikan, partai politik harus berbenah diri dengan cara memberikan ruang bagi generasi muda untuk terlibat dalam kursus politik, pelatihan kader dan pendidikan kewarganegaraan. Sehingga hasilnya, partai politik juga tidak hanya hadir musiman dalam ajang lima tahunan mengeksploitasi suara Gen Z, tetapi sejak awal merawat mereka sebagai basis kaderisasi politik.
- Strategi Pengembangan Ekonomi Gen Z
Sebenarnya, dalam struktur dan desain kementerian di Indonesia perlu dikoreksi. Kementerian Pemuda yang sangat strategis dalam mengelola Gen Z dengan segala kompleksitasnya dibingkai dengan hanya unsur olahraga, misalnya Kemenpora.
Kementerian Pemuda harusnya berdiri sendiri dengan bingkai Kementerian Pemuda dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Kompleksitas generasi muda tidak hanya persoalan olahraga, tetapi yang terpenting adalah pengembangan dan pembangunan kapasitas anak muda agar dapat meraih akses ekonomi yang memadai.
Kesenjangan ekonomi dan kesulitan akses terhadap modal ekonomi memicu frustasi sosial anak muda di berbagai negara. Bukan hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi negara harus mengembangkan dan memfasilitasi dukungan pengembangan kapasitas anak muda dalam bidang ekonomi.
Pembelajaran dari Arab Spring menunjukkan bahwa revolusi tanpa kesiapan institusi dan kapasitas sumber daya yang kuat dapat berujung pada instabilitas yang berkepanjangan. Oleh karena itu, mengelola gerakan Gen Z memerlukan pendekatan yang cerdas yang mampu mengakomodasi aspirasi demokratis mereka sambil menjaga stabilitas dan kontinuitas.
Kunci sukses terletak pada kemampuan sistem politik saat ini untuk beradaptasi dengan perubahan demografi dan transformasi teknologi. Hal ini tentu saja menuntut kepemimpinan politik yang tidak hanya visioner, tetapi memahami DNA Gen Z. Asia Spring bukan hanya tentang protes dan revolusi, tetapi tentang transformasi fundamental dalam cara masyarakat mengorganisir diri mereka dalam era digital.
Masa depan demokrasi Asia, mau tidak mau, harus dikatakan terletak pada Gen Z. Karena itulah masa depan pemerintahan demokratis adalah pemerintahan yang mampu mengintegrasikan dan mengadaptasikan aspirasi Gen Z dalam sistem, salura dan legitimasi politik. Gelombang Asia Spring harus dipandang bukan sebagai ancaman terhadap stabilitas, tetapi tantangan dan peluang memperbaharui demokrasi (democratic renewal).
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah