Rembang — Dakwah yang berlandaskan dialog dan akhlak dinilai menjadi kunci keberhasilan penyebaran Islam sejak masa para nabi hingga ulama Nusantara. Pendekatan ini pula yang membedakan dakwah Islam dari praktik kekerasan yang kerap digunakan kelompok radikal dalam menyebarkan ideologinya.
Pandangan tersebut disampaikan ulama Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha), dalam Silaturahmi Kebangsaan Bersama Tokoh Agama dalam Rangka Meningkatkan Toleransi dan Moderasi Beragama digelar di Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an (LP3IA), Rembang, Jawa Tengah, Senin (22/12/2025).
Kegiatan yang berlangsung secara luring ini diikuti sekitar 50 peserta yang merupakan mitra deradikalisasi BNPT. Selain itu, kegiatan juga terhubung secara daring dengan enam lembaga pemasyarakatan di sejumlah daerah, sehingga total peserta yang mengikuti acara ini mencapai tidak kurang dari 223 orang mitra deradikalisasi dan napiter.
Menurut Gus Baha, dialog merupakan metode dakwah yang secara konsisten ditempuh para nabi dan rasul dalam menyampaikan ajaran tauhid kepada umatnya.
Ia mencontohkan Nabi Musa yang memilih jalan dialog saat berdakwah kepada Firaun, meski menghadapi tekanan dan perlakuan keras. Bahkan ketika mengalami penjara dan intimidasi, Nabi Musa tetap tidak menjadikan kekerasan sebagai jalan penyelesaian.
“Para nabi menghadapi penolakan, caci maki, bahkan kekerasan. Namun mereka tidak membalas dengan cara yang sama. Keteguhan iman justru terlihat dari kesabaran dan kebijaksanaan dalam berdakwah,” ujar Gus Baha.
Menurut dia, kekuatan iman seseorang tidak diukur dari kemampuannya memaksakan kehendak, melainkan dari ketenangan dalam menyikapi berbagai ujian. Sikap tersebut, kata Gus Baha, menjadi pelajaran penting bagi umat Islam dalam merespons perbedaan pandangan di tengah masyarakat.
Gus Baha menambahkan, pola dakwah dialogis juga menjadi ciri utama penyebaran Islam di Nusantara. Para wali dan ulama terdahulu, termasuk Walisongo, berhasil memperluas ajaran Islam tanpa meniadakan keberagaman keyakinan yang telah hidup di masyarakat.
“Sejarah menunjukkan Islam berkembang di Indonesia karena pendekatannya yang ramah dan menghargai perbedaan, bukan dengan paksaan apalagi kekerasan,” kata dia.
Ia kemudian menyinggung pandangan kelompok radikal yang menganggap penegakan syariat sebagai satu-satunya jalan kesempurnaan beragama dan bernegara. Menurut Gus Baha, pandangan tersebut keliru dan justru menyempitkan makna ajaran Islam.
Meski Indonesia tidak menerapkan hukum syariat secara formal, Gus Baha menilai ruang beribadah dan berbuat kebaikan bagi umat Islam terbuka sangat luas. Berbakti kepada orang tua, menunaikan ibadah haji dan umrah, membantu fakir miskin, hingga memelihara anak yatim merupakan amalan yang bernilai tinggi dalam Islam.
“Kesalehan tidak hanya diukur dari sistem negara, tetapi dari sejauh mana seseorang menghadirkan manfaat dan kebaikan dalam hidupnya,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Gus Baha juga mengajak umat Islam untuk menumbuhkan rasa syukur sebagai warga negara Indonesia. Menurutnya, di tengah berbagai kekurangan yang ada, Indonesia tetap memberi ruang aman bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah tanpa konflik berkepanjangan.
“Kita diperintahkan untuk bersyukur dengan berprasangka baik. Bahkan sesuatu yang kita anggap sebagai kekurangan bisa menjadi saksi kebaikan kita di hadapan Allah,” tuturnya.
Menutup pemaparannya, Gus Baha menekankan pentingnya kemampuan mengenali kebenaran dalam beragama. Ia menyebut, kebenaran sejati adalah ajaran yang dapat diterima akal sehat dan masyarakat luas, bukan yang dipaksakan melalui ketakutan atau teror.
“Kebenaran yang hakiki tidak membutuhkan kekerasan untuk diterima. Justru karena kekuatannya, ia diterima dengan kesadaran,” pungkas Gus Baha.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah