Darmaningtyas

Hari Guru: Keteladanan Moral di Tengah Rapuhnya Generasi Digital

Jakarta – Peringatan Hari Guru Nasional tahun ini tidak hanya menjadi ajang apresiasi bagi para pendidik, tetapi juga momentum refleksi spiritual tentang amanah besar yang dipikul guru di tengah perubahan zaman. Di era serba digital, para guru kini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks: mengikuti perkembangan teknologi sekaligus membimbing siswa yang kian rentan secara mental dan emosional.

Pakar Pendidikan Nasional Darmaningtyas menilai bahwa peran guru hari ini semakin mendekati tugas mulia seorang pembimbing akhlak. Tak sekadar mengajar, guru kini menjadi teladan yang diharapkan mampu menuntun siswa menuju karakter yang kuat, beradab, dan berkepribadian luhur.

“Guru terdorong mengikuti teknologi modern, namun dalam waktu yang sama menghadapi mentalitas siswa yang agak lemah,” ujarnya, Selasa (25/11/2025).

Menurutnya, generasi digital tumbuh dalam dunia yang serba cepat namun miskin kedalaman. Interaksi yang terkurung layar membuat banyak remaja kehilangan ruang untuk menumbuhkan empati, tenggang rasa, dan nilai kebangsaan—nilai yang dalam tradisi keagamaan dikenal sebagai adab dan akhlak.

Minimnya ruang dialog di rumah maupun lingkungan sosial membuat siswa kesulitan menyalurkan kegelisahan batin. Kondisi tersebut sering berujung pada perilaku menyimpang di sekolah, mulai dari sikap acuh, kemarahan yang meledak-ledak, hingga perundungan.

“Anak-anak sekarang lemah dalam komunikasi dan interaksi. Termasuk tidak memiliki saluran untuk meluapkan kegelisahan atau kekecewaan,” jelasnya.

Darmaningtyas menegaskan bahwa akar persoalan banyak bermula dari keluarga sebagai pusat pendidikan utama. Ia mengingatkan kembali konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang selaras dengan nilai ajaran agama: keluarga sebagai lingkungan pembentuk utama karakter, sekolah sebagai penguat, dan masyarakat sebagai penyangga.

Ia mencontohkan kasus-kasus perundungan di sekolah yang mencerminkan lemahnya pendampingan emosional di rumah. “Orang tua lengkap belum tentu hadir secara batin. Ada yang hidup hanya dengan ayah, sementara ibunya bekerja di luar negeri,” ujarnya.

Di tengah kondisi tersebut, ia menilai pendekatan keras, baik verbal maupun fisik, bukan lagi jalan yang tepat. Guru dituntut menjadi teladan kesabaran, kelembutan, dan kebijaksanaan—nilai yang sangat ditekankan dalam tradisi agama manapun.

Namun untuk bisa membimbing, guru sendiri harus kuat secara spiritual dan mental. Pemahaman sejarah bangsa, nilai-nilai luhur, hingga keteladanan para tokoh pendiri negara disebutnya sebagai fondasi penting bagi para pendidik.

“Kuncinya, guru perlu banyak membaca, terutama biografi para pendiri bangsa. Dari sana muncul pemahaman jiwa kebangsaan dan keteladanan moral tentang bagaimana negara ini dibangun,” tutupnya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

wakil ketua komisi x dpr lalu hadrian irfani firda cynthiadetikcom 169

Waketum Komisi X DPR H Lalu Hadrian Ungkap Pencegahan-Penanganan Bullying Akan Masuk RUU Sisdiknas

Jakarta – Bullying atau perundungan menjadi salah satu persoalan yang membelit sekolah sehingga dibutuhkan penanganan …

Rektor UINSA Prof Muzakki

Menggali Spirit Islam Moderat Indonesia di Konferensi Internasional UINSA

Surabaya — Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menjadi tuan rumah International Conference on …