keimanan Indonesia
keimanan Indonesia

Ini Dalilku, Mana Dalilmu?

Dakwah meminta dalil ini memang telah melupakan aspek kearifan dan kebijaksanaan para ulama terdahulu dalam memodifikasi cara dalam berdakwah. Para ulama terdahulu bukan saja mengajarkan Islam, tetapi menjadikan Islam sebagai semangat perekat sosial dan kebudayaan. Subtansi ajaran Islam tersampaikan, kultur dan kebiasaan masyarakat tidak terabaikan.


Dulu orang mengamalkan ilmu dan mempraktekkan ibadah merujuk pada pernyataan dan pengajaran para kiayi baik di kampung maupun di kota. Masyarakat tidak sepenuh memerhatikan tentang dalil karena sepenuhnya mempercayai kehebatan ilmu para ulama. Itu pula bagian dari meneladani dan menghormati ulama sebagai pewaris Nabi.

Lambat laun pola ini semakin berubah. Nampak dari kejauhan tetapi semakin mendekat gerakan untuk “mempertanyakan kembali”. Penegasan itu dimulai dengan istilah : mana dalilnya? Semua praktek keagamaan kemudian dibongkar kembali dengan mempertanyakan sandaran dalilnya.

Hal sederhana yang menyangkut kebiasaan dan tidak terkait ibadah mulai dipertanyakan. Kebiasaan salam setelah shalat, misalnya, dikoreksi dengan mengatakan tidak ada dalil. Kebiasaan dzikir setelah shalat yang dahulu menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat setelah shalat mulai diusik. Dan masih banyak pratek lain dengan kata-kata : Ini Tidak ada dalilnya!

Gerakan meminta dalil ini amat menyilaukan. Beberapa pengajian yang dilakukan menyedot perhatian umat. Umat yang baru belajar agama mendapatkan ketegasan yang meyakinkan bahwa inilah praktek yang ada dalilnya, sementara yang sebelah tidak ada dalil. Polarisasi umat pun menganga.

Dakwah meminta dalil ini memang telah melupakan aspek kearifan dan kebijaksanaan para ulama terdahulu dalam memodifikasi cara dalam berdakwah. Para ulama terdahulu bukan saja mengajarkan Islam, tetapi menjadikan Islam sebagai semangat perekat sosial dan kebudayaan. Subtansi ajaran Islam tersampaikan, kultur dan kebiasaan masyarakat tidak terabaikan.

Salam setelah shalat, misalnya, adalah bagian perekat sosial. Berjamaah selain penempaan spiritual sejatinya mengandung arti perekatan emosi sosial. Bersalaman adalah bagian dari manifestasi kedekatan sosial. Jelas, tidak ada hubungannya dengan shalat dan juga bukan bagian dari shalat. Tetapi, merawat silaturrahmi adalah ibadah.

Jika salaman setelah shalat harus digugat lantas umat akan berpaling memegang handphone atau langsung bergegas setelah shalat. Pertanyaannya, apakah ada dalil pegang handphone setelah shalat? Atau adakah dalil melakukan aktifitas lain setelah shalat?

Jika ditanyakan apakah dalil salaman sebagai perekat sosial ada, tentu saja banyak sekali dalil yang bisa menguatkan hal itu. Tetapi jika ditanyakan memegang handphone setelah apakah ada dalilnya nampaknya kita harus memeriksa kembali.

Sekali lagi ini masalah kearifan dan kebijaksanaan bagaimana para penyebar Islam awal memahami kultur masyarakat yang guyub, ramah, sopan dan selalu salaman baik kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal. Media shalat jamaah dijadikan instrument untuk merekatkan kultur tersebut.

Pun demikian dzikir setelah salat. Bayangkan ingin menghadap Allah melalui shalat membutuhkan proses yang sistematis. Dari panggilan azan, iqamah, wudhu bahkan disunnahkan membaca surat an-nas agar terhindar dari godaan syetan yang mengganggu kekhusukan shalat. Ketika shalat selesai dengan bacaan salam, dengan tanpa dzikir langsung kabur dan seolah meninggalkan Allah.

Ini sekali lagi merupakan kearifan dan kebijaksanaan. Jangan pernah menanyakan dalil dzikir. Tidak hanya dalam hadist, Qur’an pun menyediakan rujukan panjang tentang pentingnya dzikir. Namun, seolah ini menjadi masalah ketika dilakukan setelah shalat. Apakah setelah shalat ada dalil membaca qur’an? Apakah setelah shalat ada dalil untuk langsung musyawarah?

Ulama terdahulu dengan kearifan dan kebijaksanaan ilmunya sangat mementingkan tidak hanya aspek spiritual, tetapi juga sosial kemasyarakatan. Islam mampu diterima dengan baik tanpa merusakan ikatan sosial yang sudah kokoh. Islam dimasukkan dalam ruh ikatan Allah dan masyarakat.

Sebenarnya beragama itu sangat mudah dan tidak menyulitkan. Selama tidak mengandung dosa apapun kreatifitas dakwah dan penyampaian Islam semestinya harus dimaknai sebagai bagian untuk mengokohkan Islam itu sendiri.

Nabi pun dalam persoalan pilihan selalu memilih yang mudah. “Dari Aisyah Ra, ia berkata, ‘Apabila Rasulullah Saw disuruh memilih di antara dua perkara, niscaya beliau lebih memilih yang lebih mudah di antara keduanya, selama itu tidak dosa. Adapun jika itu adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa’.” (Muttafaq Alaih).

Pertanyaannya, apakah salaman setelah shalat, atau langsung pegang handphone atau pergi ke toilet adalah bagian dari dosa yang dilarang? Apakah dzikir setelah shalat atau memilih langsung kabur dari masjid, atau memilih langsung ngobrol bagian dari dosa?

Karena itulah, pada pendakwah harus cerdik, cerdas dan arif dalam menyampaikan ajaran Islam. Tidak hanya butuh memahami teks dengan sempurna, tetapi juga memahami konteks yang melahirkan teks. Dan terpenting memahami konteks kultural audiens.

Kata kunci pemahaman teks, konteks dari teks dan konteks kultural masyarakat yang menjadi keberhasilan ulama terdahulu dalam menyebarkan Islam. Dan Islam tetap kokoh bukan karena dibangun dari kekuasaan, tetapi karena ia telah ditanamkan menjadi bagian dari kultur masyarakat.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

ketum pemuda muhammadiyah dzul fikar ahmad tawalla 169

Usai Putusan MK, Pemuda Muhammadiyah Serukan Persatuan Dan Hidup Rukun-Damai

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sengketa Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) 2024 pada Senin, …

Alissa Wahid ok

Semangat Emansipasi Kartini Bisa Pengaruhi Penafsiran Agama Modern Terhadap Posisi Perempuan

Jakarta – Kesetaraan gender dan penolakan terhadap diskriminasi perempuan merupakan nilai-nilai yang terus diperjuangkan dalam …