jilbab
jilbab

Jilbab : Kenapa Selalu Dipersoalkan dan Mempersoalkan?

Beberapa tahun belakangan memang trend jilbab semakin menjamur di Indonesia. Jilbab kerap menjadi penanda sosial bagi perempuan yang baru saja merubah diri lebih relijius. Terkadang pula, jilbab dipakai dadakan untuk menghormati momen relijius. Atau ada pula memaksakan jilbab demi pencitraan. Jilbab juga telah menjadi pakaian yang tidak lepas dari kapitalisasi trend fashion kaum hawa.

Namun, di sisi lain kenapa jilbab kerap menjadi persoalan? Ada kalanya juga jilbab dipermasalahkan seperti terjadi di negara-negara Barat. Ada kalanya jilbab jadi bahan untuk mempertanyakan keislaman orang lain. Seolah memakai jilbab bisa memandang yang yang lain menjadi tidak islami.

Jilbab menjadi bahan untuk orang menjustifikasi orang lain yang seolah belum baik. Meski berniat untuk mengingatkan, nyatanya tanpa mereka sadari bahasa yang mereka gunakan terlalu menghakimi si orang lain yang tidak menggunakan jilbab. Jika berniat untuk mengajak kepada kebaikana bukankan seharusnya seseorang tidak mengeluarkan kalimat penghakiman. Perlunya motivasi dan dukungan mungkin akan lebih membuat mereka simpati dan semakin ingin menggunakan jilbab.

Pemaksaan atau bahkan perundungan dalam menggunakan jilbab yang semakin banyak kita jumpai baik di sekolah atau baru-baru ini di ruang publik di Yogyakarta menjadi cukup problematis. Orang yang ingin mengajak kebaikan, tetapi Nampak seperti memaksakan dengan cara buruk.

Seseorang ketika dipaksa hanya akan membangkitkan trauma. Penyerangan kepada personal akan mampu membuat trauma, sulit tidur, dan bahkan meragukan identitas dirinya sebagai muslim. Ia juga merasa marah karena perundungan yang terjadi padanya, terlebih jika terjadi di ranah instansi, sekolah atau di ruang publik.

Sebenarnya pemaksaan dalam pemakaian jilbab tidak hanya menimbulkan dampak trauma, tapi juga gangguan kecemasan tinggi hingga gejala body dysmorphic disorder atau kelainan yang membuat seseorang terus memikirkan penampilannya. Perempuan yang menjadi korban pemaksaan dan perundungan soal jilbab lama kelamaan akan merasa tidak mampu memenuhi standar moral religius sebagai perempuan baik-baik versi orang lain.

Efek dari gangguan kecemasan yang para korban alami juga membuat mereka merasa terkucil dan kesepian secara mental karena tidak ada pihak yang mendukung mereka saat mengalami perundungan. Perempuan menjadi merasa tidak memiliki kuasa akan tubuh mereka sendiri, kurang semangat hidup, dan kehilangan identitasnya.

Tak berhenti sampai di situ saja, para korban juga akan merasa sebagai seorang pendosa yang akan menyeret ayah, saudara laki-laki, serta suami ikut ke neraka. Narasi agama yang banyak dilontarkan dan menyudutkannya akan memberikan rasa takut dan bersalah karena tidak menutup tubuh. Di sisi lain, ketika mereka mengenakan jilbab akibat paksaan, perempuan akan merasa depresi karena mengenakan sesuatu yang tidak sesuai dengan jati diri mereka.

Lantas seharusnya apa yang harusnya kita lakukan untuk menuntun seseorang dalam hal kebaikan terutama dalam kewajiban dalam menggunakan jilbab? Yang perlu kita sadari adalah manusia hanya bisa berdakwah dalam hal kebaikan, masalah hidayah merupakan hak preogratif Allah sebagai Yang Maha Pegatur Segalanya.

Jadi apabila seseorang menolak untuk menggunakan jilbab, seorang muslim/muslimah memiliki kaitan langsung kepada Tuhan. Jadi biarlah Allah yang menghukuminya, karena Allah Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Bijaksana dalam menghukumi dan memberikan hukuman kepada hamba-Nya sekaligus yang Maha Memberi petunjuk.

Agama Islam melarang segala bentuk pemaksaan. Karena pemaksaan merupakan bentuk kekerasan psikis yang bisa menjadi kekerasan fisik. Meskipun menutup aurat itu merupakan hal yang wajib bagi setiap muslimah, tetapi penerapannya tidak boleh dilakukan dengan cara paksa, intimidasi, dan atau kekerasan. Yang memaksa itu hukumnya atau aturannya, karena suatu kewajiban, tetapi kita tidak punya otoritas untuk memaksakan orang lain untuk melakukannya.

Jangankan hanya dalam penggunaan jilbab saja, dalam memeluk agama Islam saja seseorang tidak boleh dipaksa dan harus dengan kesadaran penuh, dorongan lahir dan batin untuk menjadi muslim dan muslimah. Dalam al-Quran Allah berfirman, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada berhala dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah: 256).

Islam menghendaki kepasrahan secara sadar sebagai seorang mukmin dalam hal agamanya. Semua penerapan dalam ajaran Islam harus dilakukan dengan ketaatan dan kepatuhan yang tulus. Tentu saja ketulusan tidak akan lahir dalam sebuah paksaan dan ancaman, ketulusan akan hadir dari kesadaran yang muncul dari hatinya. Kesadaran dan kepatuhan yang seorang umat berikan hanya untuk Allah semata.

 

Bagikan Artikel ini:

About Sefti Lutfiana

Mahasiswa universitas negeri jember Fak. Hukum

Check Also

kesehatan puasa

Menjaga Harmoni antara Kesehatan Jasmani dan Rohani : Belajar dari Praktek Berpuasa

 Perbincangan mengenai kesehatan jasmani dan rohani seringkali menimbulkan beragam pandangan. Namun, seharusnya kita tidak melihatnya …

mencari jodoh

Jodoh dalam Islam: Takdir yang Ditunggu atau Ikhtiar yang Harus Terus Dikejar

Seringkali ketika berbicara jodoh selalu diiringi dengan kata takdir. Orang sering bilang jodoh sudah ada …