sejarah kiblat
sejarah kiblat

Ka’bah, Sejarah Kiblat Umat Manusia

Ka’bah telah ada dan dibangun sejak manusia pertama, Adam bersama Hawa. Mereka adalah arsitek bangunan yang kelak menjadi kiblat umat Islam itu. Mulai saat itu bangunan tersebut menjadi pusat kiblat dalam menyembah Allah. Nabi Nuh meneruskan fungsi itu bersama para pengikut setianya. Itulah salah satu kisah kibat paling awal yang disebutkan sebagian ahli sejarah.

Nabi Ibrahim, kemudian datang ke daerah Makkah dan membangun Ka’bah kembali dibantu putra kesayangannya, Ismail. Di tempat itulah, Nabi Ibrahim melakukan ibadah, thawaf, sujud dan ruku’, serta menyeru segenap manusia untuk datang beribadah haji di sana (QS. al-Hajj/22: 26-27). Sejak itulah, perintah haji ke Baitullah dimulai. 

Nabi Isma’il melanjutkan tugas sang ayah. Ia berhasil mengajak penduduk Makkah dan sekitarnya untuk menyembah Allah. Keberhasilan syiar tersebut tidak lepas dari kedekatan Isma’il dengan penduduk setempat terutama setelah ia menikahi gadis keturunan Jurhum, suku yang menjadi penguasa Makkah saat itu. 

Secara turun temurun tradisi itu dilestarikan oleh penduduk Makkah dan sekitarnya. Mereka disebut dengan kaum Hanif yang konsisten menjalankan ajaran Nabi Ibrahim dan Ismail. Hingga datang ‘Amr bin Luhay, tokoh paling berpengaruh di Tanah Arab pada masa itu. Ia adalah orang pertama yang menancapkan tradisi baru dengan memasang patung tepat di sumur di tengah-tengah Ka’bah. Patung tersebut diberi nama Hubal, berhala paling penting di zaman Jahiliah.



Saat Islam datang membawa ajaran pembebasan, Ka’bah masih menjadi pusat peribadatan kaum pagan, penyembah patung (berhala). Sehingga, ketika perintah shalat diterima Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj (satu setengah tahun sebelum hijrah), kibat shalat Nabi dan kaum muslimin adalah Baitul Maqdis, Masjidil Aqsha.

Di awal periode Madinah, Allah memerintahkan Nabi agar mengubah kiblatnya menuju Ka’bah, Masjidil Haram. “Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil haram,” (QS. Al-Baqarah/2: 144).

Saat perintah itu turun, para sahabat Nabi sedang melaksanakan shalat subuh di masjid Qubba’ (Quba) —karena alasan ini masjid tersebut dikenal dengan “zhul qiblatain” (masjid dua kiblat). Perubahan arah kiblat terjadi pasca adanya komplain dari kaum Ahli Kitab kepada Nabi. Bagi kaum Yahudi, Muhammad inkonsisten menilai kaum Yahudi sebab mengingkari sebagian cara beragama mereka, sementara pada saat yang sama ia justru menghadap ke kiblat mereka.

Sebagian ulama menilai perubahan itu karena beberapa pertimbangan: (1) Masjidil Haram sebagai kebanggaan mereka sekaligus kiblat nenek moyang masyarakat Mekkah sehingga perubahan itu dapat mendorong mereka untuk beriman; (2) agar umat Islam berbeda dari kaum Yahudi; (3) agar bisa dibedakan antara pengikut yang setia kepada Rasul SAW dan mereka yang munafik (al-Razi, 4/95; Zamahsyari, 1/202).

Ka’bah adalah bukti kontinuitas ajaran langit untuk manusia yang beriman dan menyembah kepada Allah. Ia terus dijaga dan menjadi kiblat siapapun yang shalat menghadap-Nya. Rasul Muhammad adalah uswahnya. Para sahabat yang melestarikannya, dilanjut oleh para tabi’in dan generasi berikutnya.


Karena itu, para ulama mufakat menghadap Ka’bah bagian dari kewajiban (fardhu) dalam setiap shalat yang ditunaikan. Ini perintah yang tak boleh disepelekan. Bagi yang berada di dekatnya, posisi harus persis menghadap ke arahnya (‘ain al-Ka’bah). Bagi orang yang jauh darinya, ia cukup menghadap ke arah di mana kibat itu berada (jihah al-Ka’bah), walaupun tidak persis lurus ke posisinya. Begitu kata Imam Abu Hanifah (80 – 150 H). Pendapat imam Abu Hanifah tersebut diamini oleh imam Malik (93 – 179 H).

Namun, bagi imam Syafi’i (150 – 204 H), kiblat shalat tetap berusaha menghadap persis ke posisi Ka’bah. Pesan dari mazhab Syafi’iyah, kita harus hati-hati dalam menghadap kiblat saat shalat karena ini kewajiban yang mesti dilaksanakan secara serius.

Pesan dari mahzab Hanafiyah dan Malikiyah, umat Islam sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka berada jauh hingga jarak ribuan kilometer dari Ka’bah. Jarak antara Indonesia dan Mekah sekitar 8000-an kilometer. Jauh sekali. Tidak mudah memastikan posisi akurat menghadap kiblat dari jarak tersebut. 

Maka, yang paling memudahkan adalah menghadap ke arah mata angin utama di mana posisi kiblat berada, tidak harus persis lurus ke posisi Ka’bah–walaupun saat ini posisi persis Ka’bah sudah bisa ditentukan secara lebih akurat melalui teknologi seperti Global Positioning System (GPS) atau layanan Google Earth. Keputusan Fatwa MUI No. 3 Tahun 2010 bisa menjadi acuan.

Semoga kita bisa istiqomah melaksanakan shalat dan konsisten menghadap Ka’bah, kiblat para nabi pilihan dan pusat ibadah umat Islam yang tidak akan berubah lagi sampai kapanpun. Doa ini untuk saya, Anda dan mereka yang beragama Islam, siapapun, di manapun.

Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq

Bagikan Artikel ini:

About Kurdi Fadal

Dosen STAIN Pekalongan dan Alumni Ma’had Aly Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo