Musdah Mulia
Musdah Mulia

Kasus Jilbab, Segera Bersihkan Praktik Intoleransi di Dunia Pendidikan

Jakarta – Kasus pemaksaan penggunaan jilbab bukan kali pertama dunia pendidikan. Kasus-kasus itu menjadi bukti persoalan intoleransi, pemaksaan, diskriminasi dan persoalan lainnya seputar politik identitas yang segregatif menjadi ancaman nyata bagi generasi muda bangsa.

Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, menyayangkan insiden yang terjadi beberapa waktu terakhir terkait pemaksaan pemakaian jilbab di di Yogyakarta dan Jakarta. Ia menilai masalah ini terus berulang akibat persoalan budaya dan persoalan agama. Ini terjadi akibat tidak adanya tindakan tegas dalam mencegah persoalan intoleransi di masyarakat.

“Karena ini persoalan agama, persoalan budaya sehingga tidak bisa cepat untuk mengatasi ini. Terlebih jilbab ini adalah soal keyakinan jadi kita tidak bisa memaksa atau melarang,” ujar Musdah di Jakarta, Sabtu (6/8/2022).

Menurutnya, masalah ini harus segera diatasi. Penguatan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika harus terus dilakukan. Pemerintah dengan segala sumber dayanya harus mampu menanganni dengan serius, sistematis dan holistik. Masyarakat juga harus diberikan pengertian bahwa tidak ada benturan antara agama dengan Pancasila sebagai hasil pemikiran para founding fathers bangsa.

“Para fouding fathers kita sudah sepakat memiih demokrasi bukan teokrasi. Demokrasi itu adalah sebuah sistem dimana seorang mau menerima dan melihat orang yang berbeda sehingga tidak boleh ada pemaksaan. Paling tidak pemerintah harus berusaha menunjukkan keseriusannya,” katanya.

Selain pemerintah, Musdah juga menilai upaya pencegahan intoleransi di dunia pendidikan harus menjadi tanggung jawab semua pihak. Itu penting untuk memastikan bahwa agama yang beredar di masyarakat merupakan agama yang inklusif, toleran dan sesuai dengan Pancasila.

“Kalau mengaku sebagai orang yang beragama maka kita harus toleran. Toleran itu nggak mesti meyakini dan setuju keimanan agama lain, tetapi dengan legowo menerima bahwa beragama adalah hak mereka atau hak orang lain,”jelasnya.

Ia menilai insiden jilbab di sekolah negeri itu sebagai sebuah praktik intoleransi yang cukup kontradiktif dengan visi misi dan jargon Kementeraian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mengusung ‘Merdeka Belajar’. Pasalnya, seharusnya sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk mengembangkan diri dan memahami nilai-nilai kewarganegaraan yang sesuai dengan semangat Pancasila.

“Katanya ‘Merdeka Belajar’, tapi siswa tidak boleh punya pilihan. Sekolah harusnya mengajarkan saling menghargai, ajari sikap dan karakter sebagai murid itu apa, tugas dan kewajiban murid, itu yang seharusnya dijelaskan oleh sekolah. Mau pakai jilbab itu baik, tidak pakai juga tidak apa-apa, tidak boleh menghakimi mereka yang berbeda,” tegas Musdah.

Musdah mengatakan dalam praktiknya masih sering ditemukan oknum yang secara tidak sadar menghancurkan nilai toleransi berkedok imbauan. Hal ini menjadi sesuatu yang mengerikan karena terjadi praktik pelabelan dan penilaian buruk terhadap seseorang yang berbeda yang bahkan sudah diajarkan sejak dini.

“Kadang oknum menjustifikasi bahwa berjilbab adalah iimbauan. Tapi dalam prakteknya ada sikap tidak menyenangkan, memberi penilaian jelek pada seseorang yang tidak berjilbab, serta pelabelan lain. Itukan pandangan yang salah dan berbahaya. Karena dalam beragama tujuannya adalah tentang keluhuran budi,” ujar mantan Wakil Sekjen PP Muslimat NU ini.

Dalam hal ini, ia mengungkapkan, pentingnya peran dan kompetensi guru untuk lebih didorong terkait kompetensi keberagamaannya. Serta bagaimana pemerintah maupun dinas pendidikan mampu menyusun indikator keberhasilan pendidikan yang menekankan pada karakter luhur dan budi pekerti.

Menurut Musdah, masalah intoleransi di sekolah ini sangat menakutkan. Bahkan masalah ini sudah terjadi di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dimana sudah mengajarkan segregasi, permusuhan, kebencian terhadap yang berbeda. Parahnya hal itu tumbuh di lingkungan keluarganya yang sayangnya tidak mengerti agama. Oleh karenanya Musdah mewanti-wanti agar semua pihak tidak salah arah.

“Masalah ini tidak bisa kita lepaskan begitu saja sebagai tanggung jawab negara. Masyarakat sipil harus diperkuat literasinya, sehingga terdorong pula tanggung jawabnya,” katanya.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

ilustrasi masjid tempat ibadah umat

Khutbah Jumat: Menjaga Semangat Beribadah Ramadan di Bulan Syawwal

Khutbah I الحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ حَرَّمَ الصِّياَمَ أَيّاَمَ الأَعْياَدِ ضِيَافَةً لِعِباَدِهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلٰهَ …

lapar

Saya khawatir Apabila Perut Kenyang akan Lupa pada yang Kelaparan

Ramadan telah berlalu, tetapi ada nilai sangat penting yang harus disisakan. Selalu terus merawat keadaan …