Denpasar – Upaya menjaga keutuhan bangsa tidak cukup hanya dengan membangun fisik dan ekonomi, tetapi juga dengan merawat akar budaya serta nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi jati diri Indonesia. Sebab, pengikisan budaya dan hilangnya rasa bangga terhadap identitas daerah sering dimanfaatkan kelompok radikal untuk menanamkan ideologi sempit yang menyesatkan.
Pandangan itu disampaikan Muhammad Abdullah Darraz, M.A., M.Ud., akademisi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA), saat menjadi narasumber dalam kegiatan Sekolah Damai bertema “Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying di Bali”, Kamis (6/11/2025).
Menurut Darraz, lembaga pendidikan menjadi salah satu pintu strategis yang sering disusupi oleh kelompok intoleran dan teroris. Mereka tidak jarang masuk melalui posisi guru, pelatih ekstrakurikuler, bahkan kepala sekolah untuk menanamkan pengaruh ideologinya kepada para siswa.
“Dari hasil riset saya, sekolah menjadi ruang yang cukup rentan terhadap infiltrasi ideologi transnasional. Kurikulum, kegiatan keagamaan, bahkan visi sekolah bisa menjadi sasaran kelompok radikal bila tidak diawasi dengan baik,” jelasnya.
Darraz mengingatkan agar sekolah tidak menjadi “tanah tak bertuan” bagi penyebaran paham kekerasan. Ia menekankan pentingnya transparansi dalam setiap proses rekrutmen guru, staf, maupun narasumber kegiatan keagamaan.
“Kelompok radikal sering menyamar, tidak hanya sebagai guru agama, tetapi juga sebagai pengajar pendidikan kewarganegaraan. Mereka perlahan berusaha menggoyahkan kepercayaan siswa terhadap Pancasila,” ujarnya.
Ia menambahkan, kelompok semacam ini biasanya menyasar sekolah negeri di tingkat menengah dengan tujuan menanamkan ideologi sejak dini, lalu melanjutkan proses kaderisasi di kampus. Fenomena sekolah yang mengundang penceramah berpandangan eksklusif dan intoleran juga menjadi perhatian serius. Karena itu, menurut Darraz, perlu ada literasi keagamaan yang moderat dan sistem pengawasan yang lebih ketat dari sekolah maupun pemerintah daerah.
Selain peran lembaga pendidikan, Darraz menegaskan pentingnya kontribusi perempuan, khususnya para ibu, sebagai benteng pertama dalam pencegahan radikalisme di rumah tangga.
“Ibu memiliki peran luar biasa dalam membentuk karakter anak. Bila seorang ibu memiliki pemahaman agama yang moderat, maka keluarga akan menjadi benteng damai yang kuat. Rumah Indonesia yang beragam harus dijaga dari provokasi SARA. Perbedaan adalah rahmat, bukan ancaman,” pesannya.
Darraz juga mengingatkan bahwa meski beberapa organisasi radikal telah dibubarkan, sisa jaringan mereka masih beroperasi diam-diam. Karena itu, kewaspadaan masyarakat harus terus dipelihara.
“Tidak ada agama yang membenarkan kekerasan atau permusuhan. Terorisme hanyalah penyimpangan kecil dari segelintir orang yang menolak nilai-nilai ilahi dan kemanusiaan,” tegasnya.
Melalui penguatan moderasi beragama dan pendidikan berbasis budaya damai, Darraz berharap generasi muda Indonesia tumbuh menjadi insan yang beriman, berilmu, cinta damai, serta menjadikan Pancasila sebagai pedoman moral dan spiritual dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah