al-quran
alquran

Kekeliruan dalam Memahami Hadist Larangan Menafsirkan Alquran dengan Akal

Sebagian kalangan umat Islam masih memperselisihkan sebuah hadist tentang ancaman bagi orang yang berpendapat atau menafsirkan Alquran dengan akal. Bahkan, kelompok Wahabi menyebutkan bahwa menafsirkan Alquran dengan akal (ra’yu) hukumnya haram.

Hadist yang dimaksud adalah sebuah riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berpendapat dalam masalah Alquran tanpa didasari oleh ilmu, maka bersiapsiaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka” [HR. At Tirmidzi, An-Nasa’i, al-Baihaqi).

Ada juga hadist yang berbicara tentang hal yang sama namun menggunakan redaksi yang berbeda, seperti diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiallahu’anhu:

من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ

“Barang siapa siapa yang berkata tentang Alquran sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah” [HR. Tirmidzi, Thabrani dan Baihaqi].

Memang harus diakui dan disadari bahwa di kalangan para ulama sunni, penafsiran menggunakan akal (ra’yu) terdapat perbedaan pendapat; ada yang membolehkan, namun adala juga yang menolaknya.

Namun, bagi kalangan yang menolak mentan-mentah dengan dalil hadits sebagaimana disebutkan di atas, perlu dikaji lebih dalam. Sebab, pemahaman komprehensif atas hadist di atas bisa berakibat pada hukum.

Untuk itu, mari kita kaji lagi hadis di atas. Bahwa ancaman yang dtegaskan dalam hadits di atas, menurut al-Baihaqi, berlaku ketika seseorang menafsirkan Alquran tanpa didasari dengan dalil dan prinsip dasar ijtihad yang dibenarkan.

Jika seseorang menafsirkan Alquran dengan tanpa didasari dalil dan ijtihad yang dibenarkan atau hanya mengandalkan logika saja, maka inilah yang tercela dan bisa menyesatkan. Hal ini juga yang disebut Alquran sebagai perbuatan setan yang jahat dan keji.

اِنَّمَا يَاۡمُرُكُمۡ بِالسُّوۡٓءِ وَالۡفَحۡشَآءِ وَاَنۡ تَقُوۡلُوۡا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ

Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah. (QS. Al-Baqarah: 169).

Namun beda hal jika menafsirkan Alquran dengan menggunakan metode bi al-ra’yu namun didasarkan pada dalil, ketentuan yang dibenarkan. Kaitannya dengan ini, Imam As-Suyuti dalam Al-Itqan menjelaskan beberapa prinsip yang harus dipenuhi dalam melakukan tafsir bi al ra’yi sebagai berikut:

Pertama, mendahulukan kutipan dari Rasulullah (hadits) dengan hati-hati, yakni menghindari hadits dhaif dan maudlu’. Apalagi jika berkaitan dengan istibath hukum, maka harus merujuk hadits yang shahih.

Kedua, mengambil pendapat para sahabat ketika masih ada. Sebelum menafsirkan dengan pendapat pribadi, maka seorang mufassir harus mengambil pendapat dari para sahabat.

Langkah tersebut sangat dianjurkan karena pendapat sahabat secara mutlak seperti hadits marfu’. Sehingga, dapat dipertanggung jawabkan serta dapat dijadikan dalih.

Ketiga, memahami tata bahasa arab serta mampu meneliti susunannya dengan sangat baik. Kemampuan menguasasi tata bahasa Arab dengan baik menjadi syarat mutlak seseorang yang hendak menafsirkan ayat Alquran.

Keempat, mengetahui kaidah dasar syariah. Ibnu Abbas pernah didoakan Rasullah dalam sebuah hadist: “Rasulullah bersabda: Ya Allah berikanlah dia (Ibnu Abbas) pemahaman tentang agama dan berilah dia ilmu takwil” (HR. Ahmad).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits tentang ancaman bagi orang yang berpendapat/menafsirkan Alquran dengan akal adalah diperuntukkan kepada orang yang hanya mengandalkan logika yang tidak didasarkan pada prinsip dan ketentuan ijtihad yang benar.

Hal itu mengingat, ketepatan dan kebenaran pendapatnya itu tidak meyakinkan, melainkan hanya bersifat dugaan dan perkiraan semata. Dan orang yang mengatakan sesuatu tentang agama Allah menurut dugaan semata berarti telah mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak ia ketahui. Padahal dalam firman-Nya telah mengharamkan perbuatan demlkian atas hambaNya:

قُلۡ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ الۡـفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَ الۡاِثۡمَ وَالۡبَـغۡىَ بِغَيۡرِ الۡحَـقِّ وَاَنۡ تُشۡرِكُوۡا بِاللّٰهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهٖ سُلۡطٰنًا وَّاَنۡ تَقُوۡلُوۡا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعۡلَمُوۡنَ

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.” Wallahu a’lam bi al-shaab.

Bagikan Artikel ini:

About Muhammad Najib, S.Th.I., M.Ag

Dosen Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Ekonomi dan Perbankan Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta, mahasiswa Program Magister Universitas PTIQ dan Mahasiswa Program Doktoral UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Check Also

ramadan

Tips Ramadan yang Berkualitas (2): Saatnya Investasi Akhirat!

Ramadan adalah bulan yang sangat spesial. Karena pada bulan ini, pintu-pintu surga dibuka, sementara pintu …

ramadan

Tips Ramadan yang Berkualitas (1): Kurangi Rebahan, Perbanyak Amalan!

Sepertinya sudah menjadi pemandangan dan pemahaman umum bahwa bulan Ramadan, oleh sebagian orang, dijadikan alasan …