Sebentar lagi umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban atau Hari Penyembelihan (yaum an nahr). Sebuah hari istimewa, bahkan semestinya lebih istimewa dari Hari Raya Idul Fitri sebab waktunya lebih lama yakni sampai tiga atau empat hari (yaum al tasyriq).
Salah satu yang menyebabkan Idul Adha menjadi hari yang mulai adalah karena di hari itu penyembelihan hewan kurban dilakukan. Suatu ritual umat Islam yang agung karena keterlibatannya dengan sejarah yang membumi, yaitu sejarah Nabi Ibrahim mengorbankan putranya, Ismail, sekalipun pada akhirnya Ismail diganti oleh dengan domba dari surga yang dibawa oleh Jibril.
Dalam agama Islam, ibadah kurban merupakan ibadah yang mulia dengan pahala besar berlipat. Sehingga menjelang Idul Adha umat Islam yang mampu berlomba membeli hewan kurban seperti kambing dan sapi untuk disembelih di Hari Raya Kurban. Sebagai persembahan terhadap pencipta, kemudian dagingnya dibagikan kepada sanak saudara dan sanak kadang.
Kenyataannya tidak hanya dari kalangan umat Islam saja yang membeli hewan kurban, namun dari kalangan non muslim tidak sedikit yang berpartisipasi membeli hewan kurban, kemudian diserahkan kepada umat Islam untuk disembelih dalam statusnya sebagai hewan kurban.
Dari aspek kemanusiaan hal itu sah-sah saja, bahkan terpuji. Namun, dalam hukum Islam atau fikih perlu dicari hukumnya; hukum kurban non muslim dan umat Islam yang menerima hewan kurban tersebut untuk disembelih pada Hari Raya Kurban.
Termaktub dalam Ghayah al Muna Syarah Safinah al Saja, karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba’athiyah, diantara syarat niat adalah orang yang berniat harus muslim. Tetapi dalam beberapa hal tidak disyaratkan harus muslim. Sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab al Mawakib.
Apakah dalam ibadah berkurban berlaku aturan tidak harus muslim?
Dalam literatur-literatur fikih dinyatakan, dalam beberapa hal niat non muslim dianggap sah. Sebagai pengecualian dari syarat orang yang berniat harus muslim. Namun sayang, ibadah kurban tidak masuk dalam pengecualian tersebut.
Akan tetapi, sekalipun tidak sah dalam pandangan fikih bukan berarti partisipasi hewan kurban dari non muslim itu harus ditolak. Muslim tetap boleh menerima atas nama sedekah dari non muslim. Hal ini karena non muslim yang bersedekah tetap mendapat pahala. Sebab sedekah adalah ibadah yang tidak membutuhkan niat. Manfaat sedekah bagi non muslim adalah memperbanyak rejeki di dunia dan meringankan siksa akhirat.
Dengan demikian, non muslim ikut berkurban pada dasarnya boleh saja, sebagai sedekah dan kepedulian sosial. Sisi yang lain, kurban non muslim akan semakin mempererat persaudaraan umat antar beragama. Di negara seperti Indonesia yang multikultural hal semacam itu tentu sangat dianjurkan untuk menguatkan simpul ikatan kebhinekaan. Bukankah lebih baik melakukan seperti itu dari pada, misalnya, teriakan people power untuk melawan pemerintah yang sah?