Dilansir dari laman republika.co.id Kiai Abdul Karim Lahir di Magelang pada 1856, Mbah Manab sejak remaja sudah mengembara dari satu pesantren ke pesantren lain untuk menimba ilmu. Dari Babadan hingga Bangkalan, Madura, perjalanan intelektual dan spiritualnya menempuh jarak panjang selama puluhan tahun.
Selama 23 tahun, ia menimba ilmu dari ulama besar Syaikhona Kholil Bangkalan, sebelum kemudian bersahabat dekat dengan pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari.
Dari hubungan persahabatan itulah, KH Hasyim Asy’ari menjodohkan Mbah Manab dengan Nyai Dlomroh, putri KH Sholeh dari Banjarmelati, Kediri. Dari pernikahan itu, Mbah Manab hijrah ke desa Lirboyo pada tahun 1910, dan mendirikan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo — cikal bakal pesantren besar yang kini menjadi salah satu mercusuar ilmu keislaman di Indonesia.
Lirboyo bukan hanya tempat menimba ilmu agama, tetapi juga kawah candradimuka para pejuang. Ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, semangat jihad santri-santri Lirboyo ikut berkobar. Mereka tak sekadar memegang kitab, tetapi juga mengangkat senjata.
Sejarawan pesantren M. Haromain mencatat, pada masa revolusi, santri-santri Lirboyo bergabung dengan Laskar Hizbullah di bawah komando KH Mahrus Aly, menantu Mbah Manab. Dengan senjata seadanya, mereka berangkat ke Surabaya membantu arek-arek Suroboyo menghadapi tentara sekutu dalam pertempuran 10 November 1945.
“Rombongan santri Lirboyo berhasil merebut sembilan pucuk senjata dari musuh dan semuanya kembali dalam keadaan selamat,” tulis Haromain dalam buku “Sejarah Pesantren Lirboyo”.
Sebelum pertempuran Surabaya pecah, sebanyak 440 santri Lirboyo sudah terjun melucuti senjata tentara Jepang di Kediri. Aksi yang dipimpin KH Mahrus Aly dan Mayor Mahfud itu sukses membawa satu truk senjata yang kemudian diserahkan ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Semua perjuangan itu berlangsung di bawah restu dan doa Mbah Manab. Dari Lirboyo, sang kiai tak henti mengirimkan kekuatan batin bagi para santrinya yang berjuang di medan tempur.
Di balik semangat perjuangan itu, Mbah Manab dikenal sebagai sosok yang sangat qonaah, zuhud, dan istiqomah. Hidupnya diisi dengan pengajian, ibadah malam, dan tirakat.
Menurut menantunya, KH Mahrus Aly, setiap kali Mbah Manab pulang dari mengaji tengah malam, beliau tidak langsung tidur, melainkan melanjutkan dengan sholat Tahajud hingga datang waktu Subuh.
Cucunya, KH Abdullah Kafabihi Mahrus, mengenang, “Tidak diwulang (diajar, red) saja tanpa doa, tidak didoakan saja tanpa diwulang. Tapi diwulang dan didoakan,” kata Kiai Abdullah dikutip dari laman resmi Pondok Pesantren Lirboyo.
Mbah Manab juga menanamkan falsafah sederhana yang menjadi ruh Lirboyo hingga kini:
“Jadi thoriqohnya Lirboyo itu, ta’lim wa ta’allim, mulang ngaji dan mengamalkan ilmu, mengajarkan ilmu. Insya Allah kalau orang itu mengaji, mulang, mengamalkan ilmu, insyaAllah barokahnya sampai ke anak turun,” jelas Kiai Abdullah.
Warisan yang tak padam
Mbah Manab wafat pada Senin, 21 Ramadhan 1374 H (1954 Masehi) dan dimakamkan di belakang Masjid Lirboyo. Kepemimpinan pesantren kemudian dilanjutkan oleh para menantunya, KH. Marzuqi Dahlan, KH Mahrus Aly, dan KH Jauhari.
Kini, seratus tahun lebih setelah didirikan, Pondok Pesantren Lirboyo tetap berdiri tegak dengan sekitar 10 ribu santri. Pesantren ini diasuh oleh para cucu dan keturunan Mbah Manab, seperti KH Idris Marzuqi, KH Anwar Manshur, KH Imam Yahya Mahrus, dan KH Habibullah Zaini.
Dari Lirboyo, semangat jihad ilmu dan perjuangan terus menyala — mewarisi api yang dinyalakan seorang ulama qonaah bernama KH Abdul Karim Mbah Manab.
Sang kiai yang bukan hanya melahirkan santri penghafal kitab, tetapi juga santri pejuang kemerdekaan.