amirul hajj perempuan

Mengapresiasi Amirul Hajj Perempuan: Menjawab Tantangan Kesetaraan dalam Islam

Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Muslim yang mampu. Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dalam pelaksanaannya, diperlukan pengaturan dan manajemen yang baik, termasuk penunjukan Amirul Hajj, yang bertugas memimpin dan mengkoordinasikan jamaah haji dari suatu negara.

Amirul Hajj adalah pemimpin atau ketua rombongan jamaah haji dari suatu negara. Tugas utama Amirul Hajj meliputi koordinasi, manajemen, dan memastikan bahwa seluruh jamaah dapat melaksanakan ibadah haji dengan lancar. Selain itu, Amirul Hajj juga bertanggung jawab dalam menjembatani komunikasi antara jamaah haji dan pihak otoritas di Arab Saudi.

Tradisi penunjukan Amirul Hajj biasanya memilih seorang laki-laki. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan gender: Apakah seorang perempuan dapat menjadi Amirul Hajj? Dalam konteks kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pertanyaan ini menjadi sangat relevan.

Dalam tradisi Islam, tidak ada larangan eksplisit yang mencegah perempuan dari menjadi pemimpin atau mengambil peran penting dalam masyarakat, termasuk dalam konteks haji. Penunjukan perempuan sebagai Amirul Hajj memerlukan pertimbangan matang mengingat tanggung jawab yang besar dan kondisi fisik yang harus dihadapi selama ibadah haji. Namun, kesetaraan gender dalam Islam adalah prinsip yang tidak bisa diabaikan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13). Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan di sisi Allah tidak didasarkan pada jenis kelamin, tetapi pada ketakwaan.

Pada 8 Juni 2024, tiga perempuan dari Indonesia tiba di Gate B kedatangan terminal Hajj Bandara King Abdul Aziz Jeddah sebagai bagian dari rombongan Amirul Hajj Indonesia. Ketiganya adalah Alissa Wahid dari Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (NU), Ariati Dina Puspita dari Nasiyatul Aisyiyah, dan Mariana Hasbie dari Kementerian Agama. Kehadiran mereka merupakan kali kedua dalam sejarah misi haji Indonesia setelah tahun 2023.

Alissa Wahid merupakan seorang psikolog dan aktivis sosial, Alissa adalah putri dari mantan Presiden Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebagai pimpinan Gerakan Keluarga Maslahat NU (GKMNU), ia fokus pada pemberdayaan keluarga melalui pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Alissa juga dikenal karena dedikasinya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak serta upayanya untuk mendorong nilai-nilai inklusivitas dan toleransi dalam masyarakat. Tahun 2024 ini adalah kali kedua Alissa menjadi salah satu dari tiga anggota Amirul Hajj Perempuan.

Mariana Hasbie: Sebagai Tenaga Ahli di Kementerian Agama Indonesia dan juru bicara Kementerian Agama RI, Mariana memainkan peran penting dalam komunikasi publik. Tugasnya meliputi penyampaian informasi resmi dari kementerian kepada publik serta menjelaskan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh kementerian tersebut. Mariana memiliki latar belakang yang kuat dalam bidang komunikasi dan sering tampil di media untuk memberikan klarifikasi terkait isu-isu agama yang sensitif di Indonesia.

Ariati Dina Puspita: Aktivis perempuan yang aktif di Nasiyatul Aisyiyah, sebuah organisasi otonom Muhammadiyah yang fokus pada pemberdayaan perempuan muda. Ariati terlibat dalam berbagai program yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Ariati juga dikenal karena komitmennya terhadap pengembangan sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial, khususnya di kalangan perempuan muda Aisyiyah.

Mariana Hasbie menuturkan bahwa masuknya tiga perempuan dalam struktur Amirul Hajj pada tahun ini merupakan salah satu upaya yang akan dipertahankan oleh Kementerian Agama. Menurutnya, langkah ini adalah bagian dari komitmen Kemenag dalam memberi perhatian khusus kepada para jemaah haji perempuan.

Ia menyebut bahwa mayoritas jemaah haji Indonesia adalah perempuan dan lansia, sehingga perhatian khusus diperlukan. Data Siskohat (Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu) menunjukkan bahwa 55.6% jemaah haji Indonesia adalah perempuan. Dengan adanya Amirul Hajj perempuan, kepentingan dan kebutuhan para perempuan bisa dipahami lebih baik.

Langkah Indonesia dalam menempatkan perempuan sebagai Amirul Hajj adalah upaya progresif yang menunjukkan komitmen terhadap kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Keberadaan Amirul Hajj perempuan tidak hanya membantu dalam memenuhi kebutuhan khusus jemaah perempuan, tetapi juga menegaskan bahwa dalam Islam, kepemimpinan tidak terbatas pada jenis kelamin. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam tentang keadilan dan kesetaraan.

Dengan demikian, membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi Amirul Hajj adalah langkah positif yang memperkuat prinsip kesetaraan gender dalam Islam, memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkontribusi lebih dalam pelaksanaan ibadah haji, dan memastikan bahwa semua jamaah dapat melaksanakan ibadah haji dengan nyaman dan aman. Langkah ini patut diapresiasi dan diharapkan dapat menjadi contoh bagi negara-negara Muslim lainnya.

Bagikan Artikel ini:

About Sefti Lutfiana

Mahasiswa universitas negeri jember Fak. Hukum

Check Also

batu jumrah

Hukum Membawa Pulang Batu Jumrah: Pandangan Ulama dan Prinsip Tauhid

Setelah melaksanakan ibadah haji, jamaah biasanya pulang ke Tanah Air dengan membawa oleh-oleh seperti air …

haji backpacker

Haji Backpacker : Mengejar Ibadah, Menimbulkan Mudharat

Haji backpacker, sebuah fenomena yang tengah menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia, menawarkan alternatif untuk …