nalar umat beragama

Menguji Nalar “Bodoh” Orang Beragama

Ada tiga pernyataan penting yang akan kita bahas bersama, 1) Berbuatlah baik kepada orang yang berbuat buruk, 2) Sambunglah silaturrahmi kepada orang yang memutus, 3)  terima lah maaf kepada orang yang berbuat salah kepada kamu. Sikap normal semua orang akan mengatakan nalar bodoh bagi orang yang berbuat baik kepada orang yang justru berbuat jelek.

Jika orang melakukan ketiganya apakah orang ini bodoh?

Mari kita uji nalar “bodoh” ini dalam perspektif pandangan agama. Nabi pernah bersabda : “Silaturahmi bukanlah yang saling membalas kebaikan. Tetapi seorang yang berusaha menjalin hubungan baik meski lingkungan terdekat (relatives) merusak hubungan persaudaraan dengan dirinya.” (Hr Bukhari).

Dalam agama, berbuat baik kepada orang yang berbuat baik itu hal biasa. Orang tidak beragama akan melakukan hal yang sama. Namun, agama mengangkat kasta seseorang dengan cara memerintahkan berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek sekalipun.

Ini mungkin terlihat bodoh. Bodoh dalam pengertian hukum sosial yang ada. Orang yang berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk akan dikatakan bodoh karena ia tidak membalas. Begitu pula orang yang justru menyambung silaturrahmi kepada orang yang memutus dianggap bodoh karena mestinya ia terus menjauh.

Tetapi, dalam logika orang yang beragama justru orang yang berbuat demikian adalah normal. Kenapa? Beragama itu adalah komitmen untuk tidak mau didikte oleh sesuatu di luar dirinya kecuali oleh Tuhan. Orang yang berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk tidak merasa bodoh karena ia merasa itu adalah bagian dari perintah Tuhan. Sebaliknya, ia terbebas dari pandangan orang luar yang menganggap dirinya bodoh. Ia hanya mau didikte oleh Tuhan.

Lebih jauh lagi, kita berbicara tentang egoisme seseorang. Orang yang berani memaafkan dan justru berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk pada kita adalah orang yang sukses mengalahkan egonya. Ia tidak mau terkungkung oleh ego dirinya.

Status bodoh adalah pandangan sosial, tetapi orang yang demikian tidak ingin meraih status pintar dari manusia. Yang ia harapkan adalah status kebaikan dan ketaatan terhadap Tuhan. Ia tidak mau terkungkung oleh pandangan manusia, tetapi ia merelakan diri terkungkung dalam pandangan Tuhan. Pertanyaannya, lebih bodoh mana orang yang nyaman terkungkung oleh pandangan sesama manusia dari pada orang yang terkungkung atas pandangan Tuhan.

Berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk adalah ciri orang beragama. Orang yang tidak beragama akan berbuat baik kepada orang yang berbuat baik. Itu logika normal dan hukum sosial. Tetapi, norma agama menaikkan derajat logika manusia dengan perintah berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk.

Beragama itu mengajarkan kita untuk memiliki tingkat keteguhan yang konstan. Orang dianjurkan berbuat baik dalam kondisi normal dan tidak normal. Orang diperintahkan berbuat baik kepada orang yang berbuat baik dan juga kepada orang yang tidak berbuat baik. Menjadi beragama berarti mengangkat cara pandang dan sikap umat beragama.

Karena itulah, tidak mungkin orang beragama justru menjadi rendah nalar dan hatinya. Tidak mungkin ada orang beragama justru berbuat jelek kepada orang yang baik dan berbuat jelek kepada orang yang berbuat jelek. Itu bukan umat beragama. Jika ada umat beragama seperti itu, berarti cara beragamanya yang patut dipertanyakan. Bukan karena ajaran agamanya.

*Disarikan dari ceramah Gus Baha

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

Pelatihan Guru di Serang 1

Era Digitalisasi, Perlu Strategi Baru Bentengi Generasi Muda dari Intoleransi dan Radikalisme

Serang – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei harus bisa …

Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar copy

Bulan Syawal Kesempatan Umat Islam Jadi Ahli Zikir

Jakarta – Bulan Syawal adalah kesempatan umat Islam menjadi hamba-hamba Allah yang ahli zikir. Syawal sendiri memiliki …