haji

Millah Ibrahim, Ka’bah dan Haji : Cara Islam Mempertahakan Warisan Monoteisme

Ketika Nabi mengenalkan Islam di tengah masyarakat jahiliyah, Nabi Muhammad tidak mendeklarasikan sebuah keyakinan baru, tetapi merujuk keyakinan teologis yang pernah dibawa Nabi Ibrahim. Dalam al-Quran ditegaskan “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif’.” (An-Nahl: 123).

Firman ini sebagai jawaban dari polemik antara kaum musyrik yang selalu membanggakan ajaran nenek moyangnya yang menyembah berhala dan menyekutukan Tuhan dan klaim-klaim ahlu kitab tentang kebenaran ajaran yahudi dan Nasrani. Islam memposisikan diri melampaui perdebatan itu dan membawa karakter Islam sebagai agama yang tegak lurus (hanif) yang jauh sebelumnya telah diwahyukan kepada Ibrahim.

Ibrahim merupakan bapak monoteisme yang diakui dalam sejarah Yahudi dan Kristen. Dengan menegaskan diri sebagai kelanjutan dari Ibrahim, Islam tidak ingin berdebat tentang apakah Islam memiliki kesamaan dengan Yahudi atau Nashrani. Islam merujuk kepada sumbernya Ibrahim yang juga mewariskan ajaran kepada kaum Yahudi dan Nasrani.

Millah Ibrahim begitulah Al-Quran menegaskan adalah sebuah istilah untuk merujuk kesamaan pondasi Islam dalam aspek teologis dengan Ibrahim. Konsep Millah Ibrahim berarti jalan yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim yang dikenal dengan orang yang hanif (lurus) dan muslim (berserah diri). Ibrahim adalah prototipe orang yang berkomitmen pada Tauhid dan penolakan kemusyrikan.

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (Al-Nisa: 125). Dalam ayat ini Islam menegaskan kriteria orang yang baik agamanya adalah merujuk pada millah Ibrahim, yang berserah diri, hanif, dan menjauhi kemusyrikan. Islam adalah kelanjutan risalah dari Ibrahim.

Kenapa Ibrahim? Kenapa bukan Adam, Nuh, Idris, dan nabi sebelumnya? Selain sebagai kesamaan teologis dan Ibrahim dikenal sebagai sumber monoteisme, Kakbah dipercaya oleh masyarakat jahiliyah sebagai warisan dari nenek moyang mereka yang merujuk pada Ibrahim dan Ismail. Kebanggaan masyarakat Arab terhadap Kakbah telah ada sebelum Islam memberlakukan syariat Haji. Kakbah dijaga, dirawat dan ada tokoh-tokoh penting yang bertanggungjawab dalam melestarikan Kakbah dan tradisinya.

Sayangnya, perilaku masyarakat Arab ketika itu bertentangan dengan keyakinan teologis Ibrahim tentang agama yang hanif dan muslim. Karena itulah, Islam ingin membersihkan praktik jahiliyah yang berupa kemusyrikan dengan merujuk pada Ibrahim dengan ajaran tauhidnya. Penguasa Quraisy, dalam pandangan Islam, telah melenceng jauh dari warisan Ibrahim yang mereka banggakan.

Islam ingin mengembalikan kembali warisan Ibrahim bukan sekedar Kakbah, tetapi warisan teologisnya yang berupa tauhid. “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (An-Nahl: 120). Penegasan ini adalah ajakan Islam untuk kaum musyrik Makkah ketika itu, untuk kembali pada ajaran Ibrahim yang warisan Kakbahnya mereka banggakan.

Nabi Muhammad mengajak kaum musyrik Makkah bukan dengan ajaran yang baru, tetapi mengingatkan kembali kepada pendiri Kakbah itu. Surat Al Baqarah 127 merupakan ajakan Islam untuk mengingat kembali peran Ibrahim dan Ismail dalam membangun Kakbah sebagai Rumah Tuhan. Lalu, ditegaskan : ” Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud (Al-Baqarah: 125).

Islam leihat tata Kelola Kakbah sebagai baitullah saat itu melenceng jauh. Nabi Muhammad mengingatkan kembali tentang agama fitrah yang dibawah Ibrahim yang bangunannya dibanggakan oleh kaum musyrik. Sejatinya, cara berdakwah Islam tidak membawa barang asing yang tidak dikenal oleh bangsa Arab. Islam mendakwahkan ajaran dengan merujuk pada tokoh-tokoh suci yang dihormati masyarakat Arab, yakni Ibrahim.

Di sinilah, menariknya ibadah Haji. Haji bukan ibadah yang sama sekali baru. Thawaf sudah dikenal dalam masyarakat jahiliyah. Ritual thawaf sudah dikenal dalam masyarakat jahiliyah dengan melakukannya dengan telanjang yang dipercaya bahwa pakaian adalah sumber dosa. Mereka mengelilingi Ka’bah yang dihiasi dengan banyak berhala yang mewakili dewa-dewa suku Arab dan berhala paling populer ketika itu adalah Hubal, Latta, Uzza dan Manat. Talbiyah mereka lantunkan dengan memuja para dewa-dewa berhala mereka.

Islam membawa kembali Haji kepada dimensi teologis yang diajarkan Ibrahim. Melalui pendekatan historis terhadap Ibrahim, Ismail dan Hajar, Haji menjadi ibadah yang merepresentasikan keyakinan teologis melalui napak tilas ketiga tokoh tersebut. Ritual sa’I, wukuf, dan kurban merupakan rangkaian napak tilas dari sejarah ketiga tokoh tersebut.

Dalam catatan historis, Islam baru memformalkan kewajiban haji pada tahun ke-9 Hijriah dan diwajibkan bagi semua umat Islam yang mampu. Nabi Muhammad SAW mengutus Abu Bakar untuk memimpin pelaksanaan haji pada tahun ke-9 Hijriah. Ini adalah haji pertama yang dilaksanakan di bawah otoritas Islam secara formal. Abu Bakar diberi tugas untuk memimpin kaum Muslimin dalam pelaksanaan haji sesuai dengan ajaran Islam.

Pada tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad SAW melaksanakan Haji pertama kali sejak diwajibkan sekali menjadi Haji Wada (Haji Perpisahan). Ini adalah pelaksanaan haji yang sempurna dan menjadi model bagi seluruh umat Islam. Rangkaian ritual dan tata cara pelaksanaannya termuat : Nabi bersabda : Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim).

Tuntas sudah Nabi mengajarkan pondasi Ketuhanan yang pernah dibawa Nabi Ibrahim sekaligus memberikan ajaran ritual secara lengkap hingga pelaksanaan Haji. Tuntas sudah Nabi melakukan tugas kenabian dengan meluruskan praktek masyarakat jahiliyah dengan kembali pada agama fitrah yang hanif dan muslim. Islam sejatinya agama yang secara konsisten menegaskan diri sebagai agama monoteisme yang pernah dibawa Ibrahim.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah : 3). Inilah ayat terakhir, wahyu pamungkas, yang diturunkan pada pelaksanaan Haji Wada’ Rasulullah di tanggal 9 Dzulhijjah Tahun 10 H.

Bagikan Artikel ini:

About redaksi

Check Also

031480200 1719214792 830 556

Ternyata Selain Negara Tajikistan, Empat Negara Muslim Juga Larangan Jilbab

JAKARTA — Negara Tajikistan telah mengumumkan secara resmi terkait pelarangan Hijab bagi Muslimah melalui Rancangan …

Buya Yahya1

Buya Yahya: Bahaya Kaitkan Urusan Nasab dengan Tes DNA

Jakarta – Akhir-akhir ini terjadi kegaduhan mengenai nasab, keturunan dan usaha untuk membuktikan sebuah garis …