Ada satu hal menarik yang jarang kita renungkan bahwa ternyata, nasionalisme dalam arti yang subtantif bukanlah ide asing dari Barat, bukan pula sekadar doktrin politik modern yang lahir dari Revolusi Prancis. Semangat itu sudah jauh-jauh hari ditanamkan dalam tradisi kenabian, bahkan diabadikan dalam Al-Qur’an.
Perhatikan doa Nabi Ibrahim dalam QS. Al-Baqarah: 126: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan…”
Dan doa lain dalam QS. Ibrahim: 35: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku agar tidak menyembah berhala.”
Kedua doa ini bukan sekadar permohonan biasa. Ia adalah ekspresi cinta Ibrahim terhadap tanah yang dipijaknya. Ibrahim tahu, doa adalah bukti cinta yang paling tulus. Tidak mungkin ia memohonkan kebaikan bagi Mekkah jika tidak ada ikatan batin yang dalam terhadap negeri itu.
Hadits pun mempertegas makna itu. Rasulullah pernah bersabda: “Ya Allah, jadikanlah kami mencintai Madinah sebagaimana kecintaan kami kepada Mekah atau lebih.” (HR. Bukhari).
Dan dalam hadits lain beliau menegaskan: “Demi Allah, sungguh engkau (wahai Mekah) adalah bumi Allah yang paling baik dan yang paling dicintai oleh-Nya. Sekiranya bukan karena aku diusir darimu, tentu aku tidak akan keluar meninggalkanmu.” (HR. Ahmad)
Apakah ini bukan nasionalisme dalam makna yang paling murni? Cinta yang bukan sekadar kata, tetapi doa, air mata, bahkan pengorbanan.
Jika ditelaah lebih dalam, nasionalisme dalam Islam tidak berdiri di atas chauvinisme atau kebencian pada bangsa lain. Ia berdiri di atas nilai amanah. Tanah tempat kita lahir dan tumbuh bukan kebetulan, melainkan takdir Allah. Maka, mencintai tanah air berarti merawat amanah Tuhan.
Nabi Ibrahim memohonkan keamanan dan kemakmuran Mekkah bukan untuk dirinya semata, melainkan untuk anak cucu dan generasi setelahnya. Ini menandakan bahwa cinta tanah air bukan egoisme, tetapi solidaritas lintas generasi.
Dalam kerangka ini, nasionalisme adalah bagian dari iman yang hidup. Sebab, bagaimana mungkin seseorang mengaku mencintai Tuhan, tetapi membiarkan tanahnya porak-poranda, masyarakatnya kelaparan, atau bangsanya terjerat penjajahan?
Ada sebuah pelajaran penting bahwa doa bukan hanya ibadah personal, tapi juga pernyataan politik spiritual. Ketika Nabi Ibrahim berdoa, ia sedang menegaskan prinsip dasar peradaban: keamanan (amn) dan kesejahteraan (rizq). Dua hal ini adalah syarat bagi lahirnya masyarakat yang bermartabat.
Artinya, doa Ibrahim adalah deklarasi nasionalisme. Ia mengajarkan bahwa cinta tanah air bukan sekadar soal identitas etnis atau geografis, tetapi kerelaan memperjuangkan keamanan, kesejahteraan, dan ketauhidan bagi masyarakatnya.
Hadits Nabi menyiratkan ada dua tanah yang tak boleh dilupakan manusia: kampung halaman tempat ia dilahirkan, dan tanah tempat ia tinggal sebagai warga. Inilah dasar etik bagi kita di era modern.
Bagi seorang Muslim Indonesia, mencintai tanah air berarti mencintai Indonesia, bukan hanya karena di sinilah kita dilahirkan, tetapi juga karena di sinilah kita hidup, bekerja, dan beribadah. Nasionalisme tidak bertentangan dengan iman justru bentuk amanah teologis.
Maka, nasionalisme sejati bukan slogan politik, bukan sekadar kibaran bendera tiap Agustus, apalagi sekadar jargon kampanye. Nasionalisme sejati adalah doa yang hidup, yang lahir dari hati yang penuh cinta.
Seperti Nabi Ibrahim, kita pun harus berdoa untuk negeri ini: agar aman dari perpecahan, sejahtera dari kemiskinan, dan terjaga dari penyembahan modern terhadap “berhala” baru—entah berupa kekuasaan, materialisme, atau fanatisme sempit.
Di titik inilah kita bisa mengatakan: nasionalisme adalah doa, dan doa adalah cinta. Maka, mencintai tanah air bukan hanya urusan dunia, tetapi juga bagian dari jalan menuju Tuhan.